Dampak dari pandemi covid-19 sangat berpengaruh di berbagai elemen masyarakat. Salah satu yang sangat berdampak adalah segi ekonomi. Bakan menurut Ekonom Chatib Basri, skenario pertumbuhan ekonomi terparah Indonesia hanya akan mencapai 0,3%, pada tahun ini.
Atas dasar tersebut, Ketua Umum Kadin, Rosan Roslani memberikan usul kepada Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan stimulus setidaknya Rp. 1.600 triliun atau 10% dari GDP. Stimulus ini bisa diperoleh lewat kebijakan Quantitative Easing (QE), atau pencetkan uang.
Kebijakan quantitative easing ini sebaiknya disahkan secepatnya. Karena prinsip utamanya adalah untuk rakyat. Jadi jangan menunggu rakyat kelaparan dan terkena PHK. Pun harus ada PHK, tidak boleh lebih dari 10%.
Stimulus Rp. 1.600 triliun tersebut akan didistribusikan untuk tiga sektor, yakni kesehatan, social safety net, dan sektor riil & keuangan.
Dari sektor kesehatan, pemerintah hingga titik ini baru mengeluarkan Rp. 70 triliun. Padahal seharusnya dana sektor ini ditambahkan dengan nilai hingga Rp.400 triliun.
Social Safety Net sudah mengeluarkan Rp. 110 triliun hingga saat ini. Mengingat pentingnya sektor ini yang mem-back up 96 juta penerima bantuan, seharusnya sektor ini ditambahkan hingga Rp. 600 triliun.
Ketiga, sektor riil dan keuangan harus diberikan stimulus Rp. 600 triliun. Masuknya adalah melalui perbankan namun sifatnya bukan bailout, tetapi dana pihak ketiga. Dia mengasumsikan saat ini ada sekitar Rp. 5500 dana pihak ketiga di perbankan. Jika asumsi bunga per tahun adalah 10%, maka wajib ada Rp. 550 triliun.
Namun kebijakan quantitative easing ini harus dikeluarkan secara hati-hati. Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa kebijakan tersebut untuk menambah pasokan uang melalui pencetakan uang secara terkontrol.
Masyarakat awam harus mengetahui bahwa pencetakan uang akan dilakukan dengan kontrol yang hati-hati. Maksudnya sebelum berjalan, pemerintah telah mempersiapkan apa saja keperluan menggunakan Quantitative Easing agar tidak terjadi inflasi yang terlalu tinggi.
Usulan terkait quantitative easing atau pencetakan uang ini ditiru dari krisis 2008 yang menimpa Amerika Serikat. Saat itu, bank sentral AS, The Fed, memilih untuk menempuh kebijakan quantitative easing.