Ketika penulis lain membahas perusahaan Raksasa yang hengkang dari Indonesia, pergerakan lantai bursa hingga ekonomi makro lainnya, izinkan saya menuliskan tentang Beras Miskin (Raskin). Raskin saat ini sudah berganti nama menjadi Rastra atau Beras Sejahtera. Nama berubah, tapi penggunaannya, alokasi, distribusi dan semuanya masih tidak berubah. Masih tetap bertumpuk di Bulog, menunggu Surat Permintaan Alokasi (SPA) dari Bupati/Walikota terkait, lalu baru didistribusikan. Rastra atau Raskin itu juga dibawa ke Kantor Kecamatan, sebelum akhirnya dibawa ke setiap Desa atau Kelurahan, oleh masing-masing perangkat desa.
Harga Raskin per-kilogram adalah Rp 1.600. Harga tersebut tidak berubah, meskipun jarak dari kantor Bulog menuju kantor Camat sangat dekat, hingga sangat jauh. Dari yang hanya berjarak 100 meter, sampai yang berjarak ribuan tahun cahaya (eh!) harganya tetap Rp 1.600 dan tidak berubah. Kenyataannya, ketika Penerima Raskin atau sering disebut dengan Rumah Tangga Sasaran (RTS) menerima, maka jarang diantara mereka yang membeli Raskin dengan harga tersebut. Nah, dimana harga Raskin mulai berubah?
Harga Raskin yang ditemui penulis, ada yang tetap dijual Rp 1.600 oleh perangkat desa, ada juga yang Rp 1.800, bahkan ada yang Rp 3.000. Ternyata, urusan penambahan harga, ada beberapa diantaranya yang melalui Musyawarah Desa (Musdes), karena mengingat jarak desa dari Kantor Kecamatan sangat jauh. Daripada RTS dari sudut bumi datang jauh-jauh, turun gunung untuk mengambil 15 Kg Raskin, lebih baik perangkat desa yang menyewa truck atau mobil gerobak untuk mengangkut beras tersebut.
Beberapa desa, memiliki Kepala Desa budiman, dermawan, baik hati lagi penyayang. Kades dengan gagah berani menebus sendiri ongkos, sewa mobil, ganti minyak dan upah muat beras tersebut. Sehingga, RTS tetap membeli Rastra/Raskin dengan harga Rp 1.600/Kg. Ada beberapa lagi memiliki Kades yang baik, tapi tidak banyak uang mungkin. Jadi, ongkos, sewa mobil, ganti minyak dan upah muat beras ditanggung oleh RTS, dengan menambah Rp 100 - 500 perak per-kg. Dengan demikian, harga perkg meningkat menjadi Rp 1.700 hingga Rp 2.100. Sampai disini, semuanya masih dianggap wajar.
Hanya saja, kalau sudah diatas Rp 3.500 per-Kg, itu sudah kurang ajar! Dulu ada beberapa kasus seperti itu, tapi cepat ketahuan dan diselesaikan, dan Kades bersangkutan mendapat sanksi.
Selain harga, ada lagi masalah yang sering ditemui terkait Raskin ini. Paling sering, penerima Raskin adalah orang yang sangat berbeda dengan RTS yang berada di data. Kenapa seperti itu?
Ada dua kemungkinan, pertama pihak desa sudah diminta tagihan pembelian Raskin, sedangkan ada sekitar 5-10 orang yang terdaftar di RTS tapi tidak punya uang. Alhasil, perangkat desa mengambil kesimpulan, siapapun yang mau membeli beras ini, silahkan, dengan catatan harga ditingkatkan sedikit. Keuntungan dari penjualan beras tersebut, diberikan sebagai bentuk bantuan atau sedekah untuk RTS tersebut. Sampai saat ini, masih dianggap wajar.
Kemungkinan kedua, ketika tengah melakukan survey pihak desa tidak bertemu dengan RTS. Mungkin ke kebun, kerja, keluar kota atau mungkin jalan-jalan. Bertanya dengan tetangga, tapi tidak bisa meminta administrasi, seperti KTP dan KK. Hasilnya, beberapa RTS yang angkanya sudah tercatat, tidak ikut terdaftar. Untuk memenuhi angkanya, masuklah nama-nama lain untuk menggantikan RTS tersebut.
Kalau yang masuk adalah warga lain yang tidak termasuk kategori miskin, tapi termasuk ke rawan kemiskinan, maka keputusan Kades atau lurah tersebut masih bisa dikatakan (lagi) wajar. Tapi, kalau yang masuk adalah keluarganya sendiri, dan tidak begitu miskin, malah masuk kategori menengah, maka keputusan kades tersebut bisa dikatakan salah.
Raskin sebaiknya tidak untuk terus-terusan. Tapi, selama Raskin masih disalurkan, masyrakat perlu ikut memantau agar tidak ada permasalahan dalam distribusinya, hingga ketangan RTS. Salam hangat.