Lihat ke Halaman Asli

Atas Segala Pujian Untukmu

Diperbarui: 10 Desember 2016   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jangan mencari warna dalam sajakku ini sebab di sini hanyalah ada serangkaian bahasa sepi. Aku sengaja mengabadikannya agar jemariku punya cerita di lain waktu.

Ini bukan soal hujan atau pelangi. Bukan pula soal malam dan sinar rembulan. Ini hanyalah cerita tentang lentera, dihatimu, juga di hatiku supaya gelap tak sepenuhnya jadi pengantar nyenyak tidur kita.

Dari balik jendela kamarmu tlah ku abadikan sajak ini sebagai catatan diam. Mungkin suatu saat ia biasa menjelma lelucon, pemecah hening, di keningmu.

Sampai waktunya tiba, aku ingin sajak ini jadi pisau biar kau tahu inilah sajak pemotong rindu paling tajam, untukmu. Setajam pujian lidahmu yang pernah sekali waktu mengiris jantungku.

Bolehlah kau anggap ini hanya serupa tahanan atas kebisuanku seperti malam saat ia menahan gelapnya. Tetapi ingat, di saat kebisuanku mulai menemukan jalan celah ia tak segan memuntahkan ribuan anak panah, berupa kata, mungkin juga untukmu.

Setelah ini jangan lupa menari. Inilah saatnya kau menari. Menarilah, seperti tarian jemariku di sini walau tak di iringi irama pemikat rindu. Atau sederet kata manis selaku penyanggah hati saat berada di dalam kubangan lara.

Setelai kau puas menari, bacalah sajak ini sebagai mantera sebelum subuh benar-benar rubuh di pundakmu. Bukankah subuh tak selamanya menyiapkan tawa dan ilusi?.

Dengan sajak ini, mungkin kau pikir tiap kataku hanyalah gerimis, lalu kau mencoba melerainya dengan satu atau dua tanda titik. Entahlah. Entah dengan apa pula kau kelak menamainya, yang pasti aku tak menyediakan ranting yang rapuh di sini, dalam sajak ini. Disini aku hanya menyediakan sekian ruang keramaian.

Bagiku ini sudah cukup. Cukuplah untuk mendamaikan segala pertikaian di kotamu. Kota dimana kau menyimpan senja, lalu kau lebur ia jadi hujan pembawa gigil.

Hatiku gigil, hatimu pun demikian gigil. Jadilah kita pelancong dalam bahasa gigil sembari menenteng birahi dsn kelamin di depan rumah masing-masing

Apakah ini yang kau sebut cinta?. Apakah ini yang kau namai rindu?.Apakah ini yang kau maksud dahaga?. Hal yang kau ajarkan padaku sebelum aku menulis sajak ini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline