Oleh bahasa Tuhan kau hendak petik bulan?. Di ujung gerimis kau pula patahkan tulang?
Maka, mengemislah seketika api pada ombak, padamu, dan pada rupa rupa mahluk kemudian menjelma dupa-dupa. Lalu, kau sendiri kini serupa angin yang jatuh ke lantai.
Ah rupa-rupa, kau ternyata hanyalah dupa-dupa setelah angin tak lagi menyampaikan pesanmu kepada bulan, pada awan yang hendak memberiku kabar soal hujan.
Sepanjang siang sepanjang malam kau hanya tasbihkan hatimu pada karang, pada jurang. Kau pun mengasah otakmu di pinggir kali-kali yang kering, sekering sawah-sawah saat kemarau sedang melanda desaku.
Inikah tanda musim kerontang sedang meradang, dimana supra natural sudah hampir membumi?.
Inikah tanda nyali manusia sudah tak lagi punya kendali, dimana rupa dan dupa tak lagi ia kenali?.
Barangkali ini hanya ujian api buat kayu-kayu dari hutan dimana kau berguru?.
Barangkaki ini hanya letupan-letupan kecil di tengan gurun yang sedang kau lalui?
Oh tidak, pulanglah, pulanglah ke tanah dimana kau berasal. Bukankah istana Sulaiman dalam mimpimu sudah tiada?. Bukankah Palestina pun kini sudah merasakan merdeka?. Pun, bukankah kapal Nuh sudah lama karang, jauh sebelum kau ikut karang?
Pulanglah, pulanglah ke jadzirah luka ini. Buatlah dirimu sebagai obat penawar. Bukankah di dermaga sana ada ribuan luka sudah menanti-nanti kepulanganmu?.
Agar kau tau, sejarah tak akan berubah sebelum kau sampai di dermaga itu. Rumah-rumah tua yang ada di sana semenjak kemarin petang menanyakan kabarmu