Lihat ke Halaman Asli

Melompat, dari Subuh yang Rubuh

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

/1/

tuan dan nyonya,

sekarang aku ingin mengabarkan padamu tentang subuh yang rubuh. tentang kebisingan yang menyeruak di sini, di kotamu ini tuan dan nyonya. sementara kesunyian t'lah tiada. di sini, orang-orang pada menari. di atas luka-luka mereka berpesta tarian-tarian badut. topeng-topeng mereka terpasang rapi. sepertinya mereka lupa pada pertanyaan-pertanyaan penting, "mengapa mereka bersembunyi dibalik topeng?"

/2/

tuan dan nyonya,

aku masih teringat kata-katamu, "menangis itu hanya melarutkan kenanganmu pada lautan hampa". tetapi, apakah aku mesti ikut tertawa tuan dan nyonya?. apakah aku mestinya ikut mengenakan topeng seperti mereka?. tidak, aku tidak mau menjadi musuh bagi diriku sendiri tuan dan nyonya. cukuplah jiwaku yang kini terpenjara oleh ego dan nafsu. aku ingin menikmati penjara ini, tanpa melibatkan wajahku yang sudah terlanjur hancur. bukakah wajah yang hancur masih bisa di perbaiki tuan dan nyonya?: itu harapanku !

/3/

tuan dan nyonya,

melihat seekor angsa berenang di danau, mungkin kau akan bertanya, "tidakkah kau takut berenang disitu wahai angsa?". angsa tidak akan menjawab pertanyaanmu tuan dan nyonya, yakinlah !. angsa hanya ingin menikmati segarnya air di danau itu. angsa tidak tahu kalau di danau itu banyak ularnya. angsa tidak tahu kalau di danau itu ada beberapa ekor buaya.  buaya, iya buaya !. buaya sungai, buaya laut, buaya darat, buaya gunung, buaya hutan, buaya ..... ?: "hati-hati dengan buaya", kata bapakku !

/4/

tuan dan nyonya,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline