Lihat ke Halaman Asli

Pemimpin yang Kehilangan Taji

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pemimpin yang mana rela kehilangan tajinya?

Semangat juang yang mulai redup bak lilin kehabisan minyak

Tidak kah kau peduli dengan rakyat mu ?

Tidak kah kau geram dengan sikap mu ?

Tidak kah kau bercermin betapa busuk dirimu ?

Pemimpin mana yang rela kehilangan tajinya?

Berlindung dibalik manusiawi untuk mencari-cari pembenaran.

Sungguh betapa hina diri mu. Sudah sepantasnya engkau malu kepada rakyat mu.

Mana rezim yang engkau bangga-banggakan ? toh semuanya hanya sebatas bait nyanyian merdu untuk menidurkan ego mu yang berlebihan.

Mana diri mu yang dulu sebagai garda terdepan melawan para penjilat antek-antek imperium itu?

Oh, semua itu hanya sebatas imajinasi yang tidak dapat ku capai di bawah ketiak mu.

Pemimpin mana yang rela kehilangan tajinya?

Memperlihatkan paradoks, bukti ketidakmampan mu menjalankan amanah?

Memperlihatkan kedunguan mu sebatas pencitraan untuk kepentingan mu kelak?

Yah sekali lagi, engaku menuhankan pencitraan, sedangkan rakyatmu menderita.

Yah sekali lagi, engkau menuhankan pencitraan, sedangkan hati nurani mu terluka

Pemimpin mana yang rela kehilangan tajinya?

Membangun sebuah dinasti pemikiran yang kemudian engkau hempaskan menjadi kepingan sejarah yang tak bernilai.

Membangun sebuah labirin yang engkau sendiri tak memberinya jalan untuk keluar

Bagaimana kami seharusnya mengikuti mu?

Tidak, seharusnya kami hanya membiarkan mu ditelan kegelisahan zaman

Pemimpin mana yang rela kehilangan tajinya?

Membiarkan rakyatnya kebingungan dalam kubangan yang engkau bangun dari ego-ego mu.

Membiarkan rakyatnya gelisah memikirkan mu yang tak kunjung menampakkan jati diri

Berapa lama lagi kami harus menunggu?

Menunggu mu yang entah mengapa kebodohan kami menjadi landasan mencintai mu.

Pemimpin mana yang rela kehilangan tajinya?

Mengucap janji diatas benda sakral kemudian se-enak hati terlupakan dengan tuntutan hidup

Mengucap janji dengan angkuhnya mengatasnamakan perjuangan untuk kami.

Tapi apa yang kami dapat? Sekali lagi hanya kata-kata untuk menenagkan kegelisahan kami yang sebenarnya tidak dapat engaku selesaikan

Yah, memang kami yang terlalu bodoh untuk mempercayai setiap janji-janji yang engaku utarakan

Ataukah engkau yang masih gelisah dan belum menampakkan jati dirimu yang ditelan zaman.

Sungguh kami hanya bisa menunggu, wahai pemimpin yang tidak rela kehilangan tajinya.

Sungguh kami hanya bisa menangis, wahai pemimpin yang tidak rela kehilangan tajinya.

Sungguh kami hanya bisa berharap, wahai pemimpin yang tidak rela kehilangan tajinya.

Kami pun bisa mengutuk atas setiap tindakan mu wahai pemimpin yang tidak rela kehilangan tajinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline