Genap 20 tahun Mahkamah Konstitusi (MK) mengawal demokrasi Indonesia. Tidak mudah bagi lembaga negara ini menjaga kepercayaan publik dari berandalan-berandalan hukum. Maklum tiga dekade Orde Baru sukses membangun kultur berandalan yang dimainkan aparatur penegak hukum. Keberadaan MK dua dekade ini merupakan titik balik peradaban konstitusi dalam negara hukum dan demokrasi yang sedang dibangun.
Tentu saja MK tidak ingin berpuas diri dengan menempatkan posisinya di urutan keempat lembaga negara yang dipercaya publik. Apalagi ia berhasil mengungguli pengadilan, Kejaksaan Agung, dan Polri dengan perolehan suara 62%, tetapi masih di bawah Mahkamah Agung (LSI, Oktober 2022). Pentingnya refleksi kritis atas visi kelembagaan dalam memberikan harapan dan kepercayaan akan kepastian hukum bagi masyarakat wajib ditransformasikan kembali.
Terlebih apa yang dilakukan MK selama ini telah memperlihatkan karakter lembaga penegakan hukum yang independen. Terutama dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK selalu berupaya menjaga visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Kewenangan besar MK dalam menguji UU terhadap UUD untuk memastikan tidak adanya pelanggaran konstitusional, yang sejatinya adalah suatu pelanggaran diproyeksikan tidak sekedar mengadili kasus per kasus untuk menyelesaikan kasus itu sendiri, atau untuk memulihkan hak konstitusional warga negara, tetapi diproyeksikan untuk membangun martabat bangsa dan martabat hukum (konstitusi) demi hukum, serta demi bangsa dan negara. Disinilah visi besar MK untuk membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat sangat jelas memperlihatkan ideologi penegakan hukum progresif.
Meskipun pembagian tugas antara MK dengan Mahkamah Agung (MA) sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan putusan yang saling bertentangan. MA berdasarkan ketentuan pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan "Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang ...". Sedangkan MK dalam pasal 24C ayat (1) ditentukan berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Dalam konteks pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan perundang-undangan ini, menurut saya selama dua dekade MK mengadili tidak ada kerancuan kewenangan satu pun yang berdampak pada ketidakpastian putusan dalam menjamin perlindungan hak-hak konstitusional. Bahkan ketegasan kewenangan antara MA dan MK ini tampak tercipta dalam keputusan masing-masing lembaga tersebut terkait kepastian kewenangan dan kepastian hukumnya.
Sebagaimana usulan Jimly Asshididiqie, Ketua MK pertama, bahwa seluruh sistem pengujian peraturan perlu diintegrasikan di bawah kewenangan MK. Dengan demikian, keadilan bagi warga negara dapat diwujudkan secara integral di bawah fungsi MA, sedangkan peradilan atas sistem hukum dan peraturan perundang-undangan di letakkan di bawah pengawasan MK.
Jika belum berubah usulan tersebut dan bangsa ini masih komitmen terhadap keberadaan MK, maka harapan guru besar ilmu hukum kenamaan Indonesia, Satjipto Raharjo tentang bangsa ini dapat menempuh peradaban baru, seperti Amerika Serikat di abad ke-19 yang membuat tipe unik sendiri dimana hukumnya dipegang secara aktif dan penting oleh MA semakin menjadi kenyataan.
Pada titik ini, putusan-putusan MA Amerika Serikat yang banyak menginspirasi amandemen konstitusi sudah bertindak layaknya badan eksekutif. Sehingga terjadinya government by the judiciary yang bertentangan dengan Trias Politica membuat dunia sekelilingnya risau. Serupa tapi tak sama keberadaan MK di Indonesia sebenarnya dapat menjadi pencipta hukum daripada penerap hukum, karena melalui pengujian konstitusionalitasnya norma-norma hukum baru dapat tercipta, tidak terkecuali perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka keberadaan MK tak ubahnya lokomotif yang bergerak cepat membawa peradaban baru konstitusi di Indonesia.
Satu Dekade Lagi
Sayang sekali untuk membangun peradaban baru konstitusi di Indonesia tidak cukup dua dekade, apalagi hanya MK saja yang menjadi pilar utama penegakan hukum yang dipercaya menyelesaikan permasalahan hukum sesuai konstitusi. Apabila memang harapan satu-satunya untuk membuat institusi yang kuat dan orang-orang yang baik itu berada di pundak MK, maka sekurang-kurangnya butuh satu dekade lagi untuk mengatasi kekuasaan politik Orde Baru yang sudah mendarah daging di tubuh reformasi.