Lihat ke Halaman Asli

Bukan Ngopi Biasa

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sering kali gue ataupun lo terlibat dengan percakapan “Ada acara apa? Ngopi yuk!”. Memang, gak ada yang aneh dengan kalimat itu. Keanehan justru pada tindakan setelah percakapan berlangsung.
Lo sadari atau engga, ajakan ngopi atau minum kopi dalam maksud sebenernya, sekarang ga lagi dipahami sebagai ajakan untuk mencicipi secangkir kopi dalam arti harfiah. Ajakan ini lebih berupa ajakan untuk nongkrong bareng rekan di sebuah tempat, biasanya kedai, restoran, ataupun kafe, untuk kongkow-kongkow atau sekedar ngobrol ringan. Dan tentu saja, gak semua yang hadir akan memesan kopi. Sebagian akan memilih minuman yang lebih ‘ringan’ dari kopi. Bisa berupa jus, air mineral, ataupun lainnya.
Paling tidak itulah yang gue rasakan tiap kali mendapat undangan ngopi bersama teman-teman lama. Sebelum hadir ke tempat yang telah ditentukan sebelumnya, dalam benak gue semua yang hadir akan memesan kopi. Namun, fakta yang gue temukan justru menggelitik alam benak gue sebelumnya. Hanya sebagian kecil dari kelompok ini yang memesan kopi. Selebihnya memesan jenis minuman lainnya.
Gue teringat ketika masih berusia anak-anak, Ayah ngajak gue ke sebuah warung kopi langganannya di Banda Aceh. Gue ngeliat seluruh pengunjung warung kopi yang dewasa akan memesan kopi, kecuali beberapa orang wanita yang mungkin gak terlalu suka dengan rasa kopi. Dari pengalaman itulah, muncul pemahaman dalam diri gue pribadi bahwa seorang lelaki yang bertemu dengan lelaki lainya untuk sebuah keperluan, mereka sebaiknya minum kopi.
Hal inilah yang akhirnya menimbulkan sebuah konflik dalam pemahaman gue. Sudah bertahun-tahun yang lalu gue paham, kalo kopi adalah sebuah minuman penuh filosofi. Kopi yang disajikan merupakan refleksi diri peminumnya, sedangkan warung kopi adalah sebuah tempat yang memberikan sebuah tempat ‘pelarian’ yang menyenangkan bagi pengunjungnya. Karena itu, ajakan untuk ngopi sebaiknya disikapi secara jujur dengan tetap menikmati secangkir kopi.
‘Ngopi’ ataupun ajakan untuk berkumpul dan bersilaturahmi lainnya kini telah mengalami pergeseran makna aslinya. Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman yang cukup pesat, sebuah kata yang pada awalnya dimaknai sebagai ajakan mencicipi kopi, kini telah dipahami secara berbeda. Pergeseran makna ini bisa jadi diawali oleh pergeseran konstruksi budaya di masyarakat, khususnya masyarkat yang memiliki kekerabtan budaya Melayu.
Seorang tua pernah cerita sama gue kalo dulunya perempuan merasa risih dan segan untuk nongkrong di warung kopi. Warung kopi dan pembicaraan yang terjadi di dalamnya adalah keniscayaan lelaki semata. Warung kopi hanya menyediakan cairan hitam panas dengan larutan gula, gak cocok untuk perut perempuan, gitu sih katanya.
Dulunya warung kopi adalah tempat untuk saling menceritakan keluh kesah atau sekedar menghabiskan waktu luang. Petani yang mau ke sawah atau ladang, habisin waktu di warung kopi buat renungin cara terbaik mengolah tanahnya. Seorang pria yang bertengkar dengan istri gak jarang mengunjungi warung kopi untuk membuang keluh kesah ke dalam cairan hitam yang akan diteguknya sendiri.
Sekarang semuanya udah beda.  Keberadaan warung kopi dan kopi itu sendiri perlahan-lahan mendapatkan makna baru. Pembicaraan bisnis ataupun pemerintahan, sebaiknya dilakukan di dalam warung kopi. Entah siapa pertama kali yang mencetuskan tren untuk melakukan pembicaraan bisnis di warung kopi. Segelas kopi, beberapa batang rokok, dan tanda tangan pun jadi di atas kertas bermaterai. Sebuah jabat tangan pun mengakhiri pertemuan tersebut. Hal inilah yang kerap kali gue saksikan ketika mangunjungi warung kopi.
Yang lebih menarik, para pelayan publik yang berseragam pun ikut-ikutan tren tersebut. Dengan alasan akan menemui rekanan proyek yang melakukan penawaran untuk sebuah pekerjaan, maka pertemuan di warung kopi pada jam kerja pun menjadi ‘halal’.
Atas dasar kepentingan-kepentingan di atas, warung kopi dan kopi akhirnya membuka diri. Bukan lagi sekedar keniscayaan lelaki karena perempuan pun bebas mengunjungi warng kopi, dan bebas memilih minuman dan makanan yang akan dicicipinya, ataupun memilih pembicaraan yang akan dilakukan di warung kopi.
Well, enjoy your coffee, cherish your day!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline