Lihat ke Halaman Asli

Sisi Lain Wanita Pemijat Plus-plus

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Nike, begitu ia mengenalkan namanya sama saya, single parent beranak dua asal Purwakarta. Saya tahu itu pasti bukan nama asli, karena kebiasaan setiap pramuria (atau apalah namanya istilah untuk wanita penghibur) tidak mungkin mengenalkan nama asli. Nama asli hanya disebutkan pada orang yang ia sudah kenal lama atau terhadap teman sejawatnya. Nike bekerja sebagai terapis di sebuah tempat Massage & Spa di wilayah Senggigi, Lombok.

Pertama kali saya mampir ke tempat di mana Nike bekerja karena diajak oleh seorang Kepala Desa. Ia sudah sering ke tempat itu. Selain jadi kepala desa ia juga seorang pengusaha ikan. Awalnya pengusaha sukses di bidang tambang, tetapi kemudian ambruk karena ditipu oleh orang. Lalu mencalonkan diri sebagai kepala desa dan menang. Kehidupan sebagai pengusaha, menurutnya, sudah tidak asing dengan tempat-tempat hiburan.

Malam itu, sekitar jam 9 pada pertengahan bulan Februari 2014, kami berempat ke tempat itu. Sebelum masuk teman Kepala Desa berpesan, "Jangan panggil saya kades di sana ya bro, panggil aja bro atau apa". "OK siap", jawab saya. Para kades di Lombok, menurutnya, banyak juga yang suka mampir di lokasi itu. Belakangan, dari pengakuan Nike, ternyata bukan hanya kades bahkan salah seorang bupati di Lombok pun sering ke situ. Tak hanya itu, pengarang buku laris nasional yang novelnya difilmkan pun pernah ke situ.

Sesampainya di lokasi ketiga teman saya segera masuk, saya sendiri belakangan karena harus memarkirkan mobil. Tempat parkir berada di depan hotel. Hanya muat dua atau tiga mobil ke tempat itu, sisanya banyak terparkir motor. Dari luar tempat yang berlabel "Hotel & Spa" itu terlihat kecil, namun ketika sudah masuk lumayan besar memanjang.

Setelah mendaftar di resepsionis, waitres yang jaga di situ menanyakan: apakah mau kamar VIP atau biasa, akhirnya memilih VIP karena ada fasilitas AC dan nyaman tempatnya. Terdapat 8 kamar untuk VIP dan beberapa kamar biasa. Tarifnya pun berbeda: VIP 360 ribu dan kamar biasa kurang dari 300 ribu.

Setelah mendaftar lalu si waitres memberikan kertas list yang isinya nama-nama wanita. Saya bertanya ke kades itu: "Apa itu?". Ia menjawab bahwa itu nama-nama wanita terapisnya. Tinggal dipilih mau siapa. Saya bingung karena baru pertama kali ke situ. Di situ ada 11 nama wanita, yang kosong tinggal 5 orang selebihnya sedang melayani tamu. Akhirnya asal tunjuk aja ke salah satu nama: Nike. Ketiga teman lain termasuk kades pun segera memilih satu per satu nama yang tertera.

Sambil dipersiapkan kamar kami diminta menunggu di ruang tengah. Menyerupai bar. Penjaga bar dengan sopan menawari apakah mau pesan minum atau tidak. Ketiga teman saya memesan minuman yang diinginkan. Saya sendiri memesan teh botol dingin saja. Lumayan nyaman ruang tunggunya. Terdapat dua meja kaca. Semua kursinya berwarna merah cukup empuk.

Waitres kembali dari belakang dan mengatakan kamar sudah siap. Kami pun menuju kamar masing-masing yang ditunjukkan oleh waitres. Si waitres meminta untuk menunggu lagi karena terapisnya masih mempersiapkan diri. Sambil menunggu, maklum kami berempat semuanya iseng. Tidak mau tinggal di dalam kamar. Semuanya berbaris di luar kamar. Ingin tahu rupa dari masing-masing wanita yang dipilih. Sebab di resepsionis hanya disodorkan list nama tidak beserta fotonya. Mengundang rasa penawaran seperti apa rupanya.

Satu per satu terapis yang dipilih datang. Terapis pesanan kepala desa yang pertama datang. Rupanya lumayan lah. Kemudian yang kedua muncul adalah Nike. Teman-teman yang berbaris melihat Nike terkesima: cantik boo. Berambut lurus panjang dan dicat kecokelatan. Bule celup sendiri biasa. Dengan tato di pergelangan tangan dan di leher menambah suasana berbeda ketika memandangnya. Ketiga teman saya berebutan mengajak ke kamarnya. Tapi karena Nike sudah dipesan oleh waitres untuk ke kamar saya, ia pun hanya tersenyum melihat tingkah teman-teman. Saya pun segera masuk dan menutup pintu sambil berkata: "dadaaaah..saya duluan". Disambut dengan tawa dan saling ledek.

Setelah di dalam, Nike mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. Mempersilahkan untuk tidur di kasur yang sudah disediakan. Kamar tak jauh beda dengan fasilitas hotel sebagaimana biasanya. Ada kamar mandi, televisi, dan AC. Kasurnya pun lumayan empuk. Ada juga fasilitas pemanas dari lilin untuk memanaskan minyak untuk memijat.

Sambil dipijat karena tujuan saya didorong oleh rasa kepenasaran bagaimana sebetulnya kehidupan mereka, saya banyak bertanya. Mengobrol santai. Nike pun menjawabnya dengan santun. Tapi saya tidak mungkin mempercayai sepenuhnya apa yang ia jawab. Sebab, bagaimanapun pasti ada semacam aturan atau sudah dilatih oleh manajer mengenai bagaimana harus menjawab pertanyaan dari tamu. Apalagi jika ditanya menyangkut kehidupan pribadinya. Tidak bisa hanya sekali kemudian jawabannya bisa dijadikan acuan. Harus berkali-kali dan melihat konsistensi dari jawaban. Namun, dari obrolan itu diperoleh informasi bahwa ia berasal dari Purwakarta, single parent beranak dua (perempuan semua), sekolah lulusan SMA, kini berusia 24 tahun. Di tempat itu ia baru 2 bulan bekerja, sebelumnya di Semarang di tempat serupa. Memang, dari pijitannya ia profesional. Enak dan well trained.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline