Sumber daya alam melimpah dapat menjadi berkah maupun kutukan bagi suatu negara. Dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, Indonesia menjadikan sektor pertambangan dan energi sebagai tulang punggung perekonomian. Namun tanpa disadari Indonesia mulai mengalami ‘Dutch Disease’, yaitu kondisi keterpurukan ekonomi yang pernah dialami oleh negara Belanda pada dekade 60-an akibat melakukan eksploitasi sumber daya alam secara intensif kemudian secara langsung diekspor atau hanya diolah secara minimum, tanpa adanya upaya peningkatan nilai tambah lebih lanjut di dalam negeri.
Dalam UU Nomor 4 tahun 2009, Pemerintah telah mengamanatkan kewajiban peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Sektor pertambangan dituntut agar melakukan pengolahan lebih lanjut hasil tambang, dan diberi waktu 5 (lima) tahun sejak tahun 2009 untuk mendirikan pabrik pengolahan hasil tambang (smelter/refinery). Tetapi fenomena yang terjadi di lapangan adalah terjadinya eksploitasi sumber daya alam dan ekspor besar-besaran produk tambang menjelang pelarangan ekspor mineral mentah pada tahun 2014. Para pelaku usaha pertambangan dinilai belum mampu memenuhi kewajibannya untuk mendirikan pabrik smelter atau refinery untuk mengolah lebih lanjut hasil tambang di dalam negeri.
PT Freeport Indonesia merupakan salah satu perusahaan asing yang mengelola area pertambangan terbesar di Indonesia. Dengan kepemilikan mayoritas saham oleh Amerika Serikat, PT Freeport mengelola Tambang Grasberg Papua yang merupakan tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia. Sama halnya dengan pelaku usaha pertambangan lainnya, PT Freeport belum mampu memenuhi kewajibannya untuk mendirikan pabrik smelter tembaga pasca pelarangan ekspor mineral mentah pada tahun 2014.
Saat ini tengah ramai diperbincangkan bahwa Pemerintah telah menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT Freeport Indonesia apabila kontrak pengelolaan tambang ingin diperpanjang dan hal ini disanggupi oleh PT Freeport. Persyaratan tersebut diantaranya: kewajiban untuk membangun pabrik smelter tembaga, memanfaatkan sumber daya lokal, melepas sebagian sahamnya (divestasi) ke Pemerintah atau badan usaha nasional, serta melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar.
Ketegasan dari Pemerintah dan niat baik PT Freeport Indonesia tentunya perlu mendapat apresiasi, namun di sisi lain Pemerintah juga perlu berhati-hati dalam membuat kesepakatan agar tetap mengutamakan kepentingan Indonesia. Pemerintah selaku regulator harus konsisten terhadap penerapan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, jangan sampai sebuah kebijakan diubah hanya untuk mengakomodir kepentingan dan desakan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut opini penulis, alangkah lebih baik apabila Pemerintah tidak perlu terburu-buru mengambil keputusan dalam melakukan renegosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport. Sesuai ketentuan dalam PP Nomor 77 Tahun 2014, proses negosiasi baru dilaksanakan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum masa habis kontrak pada tahun 2021.
Merujuk pada hal tesebut, Pemerintah sebenarnya masih memiliki ruang gerak sampai dengan tahun 2019 untuk menyiapkan hal-hal yang diperlukan dalam proses negosiasi, termasuk mengkaji secara komprehensif cost-benefit perpanjangan kontrak PT Freeport bagi Indonesia.
Data milik Freeport per 31 Desember 2014 menunjukkan bahwa cadangan bijih tambang Freeport di Papua mencapai 2,27 miliar ton bijih. Dari jumlah total bijih tersebut, diperkirakan mengandung: 1,02% tembaga, 0,83 gram/ton emas, 4,32 gram/ton perak. Apabila dikelola secara langsung, maka dapat dibayangkan besarnya penerimaan yang diperoleh negara dan multiplier effect yang dihasilkan. Pemerintah sebenarnya tidak perlu ragu lagi untuk mengambil alih PT Freeport berdasarkan data potensi sumber daya alam tersebut. Ditambah lagi, teknologi pertambangan merupakan hal yang telah dikuasai oleh Indonesia sejak lama, sehingga kelanjutan operasional PT Freeport pasca pengambilalihan seharusnya bukanlah sesuatu yang harus dikuatirkan oleh Pemerintah.
Bila hal-hal di atas masih belum cukup, alasan lain yang dapat dijadikan pertimbangan adalah hasil pengolahan limbah konsentrat tembaga atau anode slime yang dihasilkan oleh PT Freeport, disinyalir memiliki kandungan rare earth mineral bernilai strategis yang seharusnya diolah dan dikuasai oleh negara.
Kontrak PT Freeport memiliki kemiripan dengan kerjasama Proyek Asahan (PT INALUM) antara Pemerintah Indonesia dengan Investor Jepang yang berakhir pada tahun 2013. Yang membuat perbedaan adalah sejak 3 (tiga) tahun sebelum berakhirnya kontrak, keputusan Pemerintah sudah bulat untuk mengakhiri kerjasama Proyek Asahan walaupun investor Jepang menginginkan sebaliknya. Hal ini didasari pertimbangan-pertimbangan bahwa: 1) kebutuhan aluminium dalam negeri yang semakin meningkat, 2) PT INALUM tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi industri dalam negeri dan masyarakat selama hampir 30 tahun masa kerjasama, 3) Pemerintah optimis bahwa dengan pengelolaan PT INALUM sepenuhnya oleh Indonesia akan mewujudkan industri aluminium nasional yang kuat dan mandiri.
Keputusan Pemerintah ini segera ditindaklanjuti dengan membentuk Tim Perunding Proyek Asahan yang bertugas untuk menyiapkan strategi perundingan sekaligus melakukan negosiasi pengakhiran kerjasama dengan Investor Jepang. Dengan didukung oleh tim yang solid dan persiapan yang matang, proses perundingan dapat berjalan dengan baik tanpa kendala yang berarti. Disamping itu, hubungan antara kedua negara tetap terpelihara dengan baik.