Anda tentu saja masih ingat dengan istilah “jelata” dan “jelita” kan. Walaupun demikian, kalau boleh, saya akan membantu anda untuk mengingatnya. Kedua istilah ini, mencapai puncak popularitasnya manakala kita sedang sibuk dengan agenda nasional pemilihan presiden 2009 kemarin. Ketika itu mucul dua kasus diluar agenda tersebut.
Kasus pertama, berhubungan dengan seorang wanita bernama Prita Mulyasari. Prita dituntut secara pidana maupun perdata sehubungan dengan surat elektroniknya yang berisi tentang keluh kesahnya tentang pelayanan kesehatan yang diterimanya, di sebuah rumah sakit. Penggunaan UU ITE untuk sebagai dasar penuntutan menambah kontroversi.
Kasus kedua, menyangkut seorang wanita yang bernama Manohara Odelia Pinot. Kasus Manohara sama sekali tidak berhubungan dengan UU ITE, pelayanan kesehatan yang diterimanya ataupun surat elektroniknya. Kasus Manohara lebih ke urusan rumah tangganya. Bukan sebuah rumah tangga biasa tentu saja, karena suaminya (udah jadi mantan belum sih?) adalah seorang pangeran dari negeri tetangga, serumpun pula. Dan oleh karenanya, dalam kerangka menjaga hubungan baik antar kedua negara (mungkin), pihak istana memberikan pernyataan menanggapi kasus Manohara.
Tentang belum adanya komentar dari Istana soal kasus yang meninpa Prita Mulyasari yang ketika itu ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten, Hatta Rajasa (Menteri Sekretaris Negara, ketika itu) membuat pembedaan antara jelita dan jelata.
Pembedaan itu disampaikan secara berkelakar sambil makan rujak di ruang jumpa pers Kantor Presiden, Jakarta, Rabu, 3 Juni 2009. Pernyataan itu keluar saat ditanya kenapa untuk kasus Manohara Pinot Istana bereaksi cepat, sementara untuk Prita belum ada juga keterangan. "Itulah bedanya jelita dan jelata," ujar Hatta sambil mencolek sambal rujak dengan mangga muda.
Saya yakin, dengan pengantar singkat di atas, anda semua sudah ingat, kenapa istilah “jelita” dan “jelata” sedemikian populernya ketika itu.
Setelah saya membantu anda semua untuk mengingat kedua kasus tersebut. Boleh dong kalau sekarang saya yang minta bantuan anda semua. Bukan hal yang susah kok, hanya dengan menjawab pertanyaan di akhir tulisan ini, anda sudah membantu saya. Itu saja.
Salah satu berita menarik di minggu ini adalah tentang rencana pembangunan sebuah gedung baru di kawasan Senayan, di komplek DPR tepatnya. Seperti yang diberitakan oleh beberapa mass media, total anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan gedung baru tersebut adalah Rp 1.8 trilliun (=US$ 200 million). Gedung baru tersebut rencananya akan dibangun selama tiga tahun, 36 (ada yang menyebut 33) lantai untuk menampung lebih dari 700 orang termasuk untuk kantor anggota DPR, asisten pribadi dan staf ahlinya.
[caption id="attachment_130624" align="alignleft" width="303" caption="Gedung Nusantara Komplek DPR (sumber: Properti Kompas)"][/caption]
"Gedung itu memang sudah tidak sesuai kapasitas. Sudah overload. Saat periode DPR 2004-2009, dilakukan audit kelayakan gedung oleh Kementerian PU. Dari kajian analisis infrastruktur, ada kemiringan pondasi sekitar 7 derajat," kata Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, saat dihubungi wartawan, Jumat (30/4/2010) sore.