Pagi hari menuju ke kantor, di hari yang kecepit, padat merayap di jalan tol. Enaknya ngapain coba?. Suara Alina Mahamel dengan Indonesia News Round Up-nya, mengurangi kegelisahan.
Setelah news round-up tadi, acara dilanjutkan dengan sebuah program talkshow, saya lupa judulnya. Akan tetapi, talkshow yang dipandu oleh Dwi Tri, wartawan majalah GATRA, dan menghadirkan tiga nara sumber ini, menarik perhatiaan saya. Nara sumber pertama adalah, Dirgo Purbo, seorang Dosen di SeskoAD dan SeskoAU, penulis buku yang berjudul Geopolitik Perminyakan. Nara sumber kedua, Agusman Effendi, seorang mantan anggota DPR periode 2004 - 2009 dari Partai Golkar dan anggota Dewan Energi Nasional. Dengan segala hormat dan permintaan maaf, saya kok lupa nama dari nara sumber yang ketiga.
Tidak semua perbincangan saya bisa ikuti karena udah nyampai di kantor, hanya setengah jam pertama saja dari talkshow yang berdurasi dua jam itu yang saya ikuti. Agusman Effendi menyampaikan update terhadap apa itu Dewan Energi Nasional dan kegiatan yang sudah dan akan dilaksanakan. Pembentukan Dewan Energi Nasional merupakan amanat dari UU no. 30 tahun 2007, keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintahaan dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk konsumen dan akademisi. Dewan ini diketuai oleh Presiden Republik Indonesia.
Dwi Tri mencoba "memanaskan" suasana dengan sebuah pertanyaan. Sejak tahun 70an, selalu saja ada yang mengatakan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam kurun 18 tahun ke depan, kenyataannya kita sekarang masih mempunyai-nya. Pancingan ini ditanggapi oleh Dirgo Purbo dengan memberikan contoh, sumur minyak pertama yang berhasil dibor di Amerika terjadi pada abad 19, tahunnya saya lupa, akan tetapi sampai sekarang ini, Amerika Serikat tetap mampu menghasilkan minyak bumi dari cadangan dalam negerinya. Demikian pula dengan di Indonesia, walaupun kapasitas produksi Indonesia menurun, tetap saja kita dapat menghasilkan minyak bumi, temuan di Cepu sebagai contohnya.
Data produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia, memang menyampaikan fakta bahwa Indonesia adalah net-importer, dengan konsumsi yang berkisar 1,4 juta barel per hari, sementara kapasitas lifting kita yang hanya berkisar 960 ribu barrel per hari saja. Dirgo memberikan pengandaian yang "menarik", menanggapi hal ini.
Jika saja uang sebanyak 6.7 triyun rupiah yang kita gunakan untuk melakukan bailout terhadap Bank Century, kita investasikan untuk pengeboran sumur minyak baru, dengan asumsi bahwa investasi yang dibutuhkan untuk melakukan pengeboran dan pengembangan satu sumur minyak baru di onshore adalah 10 Juta Dollar, maka dengan menggunakan kurs I USD sama dengan 10,000 rupiah, maka terdapat 670 sumur minyak baru yang dapat kita bor dan ambil manfaatnya. Jika saja, diasumsikan juga bahwa satu sumur baru tersebut mampu menghasilkan 2,000 (dua ribu) barel per hari minyak bumi, maka tambahan produksi sekitar 1,34 juta barrel per hari akan didapatkan dan Indonesia akan kembali menjadi eksportir minyak bumi. Sebuah pengandaian yang "menarik" bukan.
[caption id="attachment_93807" align="aligncenter" width="500" caption="sumur minyak bumi (sumber: m.kompas.com)"][/caption] Saya tak hendak menilai valid atau tidaknya pengandaian dan asumsi2 yang dipakai, termasuk dengan angka-angka cantik tadi, saya pun juga tak ingin menanggapi tentang kasus bailout Bank Century dalam kesempatan ini. Saya cuma ingin menyampaikan bahwa terlepas dari itu semua, ini adalah sebuah opportunity cost, itu saja. Thanks God its Monday dan salam mbuh ra ruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H