Lihat ke Halaman Asli

Cinta yang Salah (?)

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah aku harus memulainya dari mana, tiba-tiba waktu-waktu belakangan ini aku kangen dan ingin sekali bertemu dengan seorang sahabat lama yang saat ini entah tinggal di mana. Seorang sahabat yang tidak pernah membuatku kecewa. Selalu mendukung di saat aku lemah, membangkitkanku disaat aku terpuruk, membahagiakanku di saat aku sedih dan dan mengobati saat hati dan badan ini terluka.

Aku rindu dengan sapaan khasnya untukku. Dia selalu memanggilku dengan sebutan adik tampan. Seperti juga aku kerap memanggilnya dengan panggilan kesayanganku, gadis cantikku. Aku juga rindu dengan petuah-petuah istimewanya tentang perjalanan hidupnya. Tentang bagaimana dia yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya selama-lamanya harus mempertahankan dan bertarung sekeras-kerasnya untuk tetap hidup. Meskipun dari sisi kejiwaan sebagai seorang wanita, terkadang dia mengakui kelemahan dalam segala keterbatasannya. Karena itu, katanya, tidak hanya pria yang bisa menjadi laki-laki, tetapi wanita juga harus bisa menjadi laki-laki. Sebab opini telah dibangun sedemikian rupa selama ribuan tahun bahwa laki-laki adalah kekuatan dan perempuan identik dengan kelemahan.

Jangan pernah menangisi keadaan, katanya suatu ketika. Menurutnya hidup ini adalah pilihan. Sedangkan pilihan yang diberikannya cuma dua, kesedihan dan kebahagiaan. Yah, apapun pilihan yang kita ambil, pada akhirnya hanya berujung pada kesedihan atau kebahagiaan. Karena itu, lanjutnya, jika kita ditimpa kesedihan, cukuplah berduka sekedarnya. Siapa tahu dibalik kesedihan itu terselip kebahagiaan. Sebaliknya jika mendapat kebahagiaan, tidak perlu berlebihan mengekspresikannya. Siapa tahu kebahagiaan itu merupakan awal dari kedukaan.

Di luar semua itu tentang prinsip hidupnya, aku memang benar-benar merindukannya pada seluruh yang ada padanya. Kulit putih terpeliharanya, suara lembutnya, geraian rambut lurusnya, senyum manisnya, tinggi dan semampai tubuhnya yang karena itu dia selalu menganggapku sebagai adik kecilnya karena tinggi badannya lebih tinggi dari tinggi badanku.

Tadi pagi, disaat kerinduan padanya memuncak, aku sudah mencoba mengontak semua orang yang aku tahu pernah kenal atau pernah berhubungan dengan sahabatku itu. Tetapi tidak ada seorangpun yang tahu keberadaannya saat ini. Menghubungi tempat di mana dia dahulu bekerja juga tidak mungkin karena kafe bekas tempatnya bekerja sudah hancur diamuk massa beberapa tahun yang lalu. Tidak jelas apa alasan dibalik pengancurannya. Yang pasti beberapa orang menjadi korban dan aku tidak tahu apa sahabatku termasuk di antara para korban yang jatuh.

*****

Malam ini mestinya aku bisa bersantai melemaskan ketegangan otot-otot dan pikiran yang selama satu pekan sangat menguras energi, tetapi karena rencana kegiatan si bos, memaksa aku untuk tetap menghadapi banyak sekali pekerjaan, mempersiapkan berkas seminar minggu depan di Bandung. Bos aku di kantor akan menjadi salah satu pembicaranya. Sebagai salah satu aktivis hak asasi manusia yang cukup terkenal, si bos memang lebih banyak mengurusi kegiatan sosial daripada pekerjaannya di kantor. Dan sebagai salah satu staff terdekatnya, aku yang sering diminta menemaninya ke manapun dia punya acara.

Seringkali aku sedih jika melihat perjalanan hidup si bos. Aktivitasnya di kegiatan sosial adalah sebagai pelampiasan dendam masa lalunya. Di hari-hari pertama setelah perceraiannya, dia sering meminjam pundakku untuk sekedar melepas tangisnya. Melepaskan kesedihan di tengah ketidakberdayaannya mengatasi rangkaian permasalahan hidup yang menderanya bertubi-tubi. Entah bagaimana si mantan suaminya itu sampai hati menyakitinya sehingga selama berbulan-bulan si bos masih sering menangis di ruang kerjanya.

“Saya tidak meminta banyak dari suami saya.” kata si bos setelah menyandang status jandanya. “Saya hanya ingin dia memperlakukan saya sebagaimana wanita normal pada umumnya yang butuh cinta, kasih sayang, kelembutan dan perhatian. Bukan uang semata. Uang tidak pernah menjadi masalah bagi saya karena masing-masing dari kami membawa harta yang tidak sedikit ke dalam perkawinan.”

Kemudian dia bercerita bagaimana suaminya memperlakukannya sedemikan rupa, merendahkan martabatnya, termasuk menghinakannya secara seksual.

“Saya adalah pelacur bagi suami saya sendiri. Dan sebagai pelacur saya harus memuaskannya dengan cara bagaimanapun yang dia maui tanpa harus memandang aturan-sturan agama dan sosial, termasuk hobby dia menyertakan wanita lain dalam hubungan sex kami.” Saat itu si bos tidak bisa menahan tangisnya. Katanya lagi, “Saya terhina jika dia memperolok pelayanan seks saya di depan wanita lain di tengah-tengah aktivitas seks kami. Bagi saya yang memandang seks adalah kegiatan sangat pribadi, penyimpangan seksual suami saya sangat tidak bisa saya terima.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline