Lihat ke Halaman Asli

Menuju Syurga

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terminal Bumi Serpong Damai pada satu senja yang muram. Hujan di sepanjang pagi hingga siang tadi masih meninggalkan bekasnya pada halaman terminal yang di beberapa tempat masih tergenang air. Becek. Tapi terasa eksotis dalam balutan udara kawasan itu yang sejuk.

Tan Burnama bergegas memarkir mobil angkutan kotanya pada jalur para supir angkutan umum biasa memarkir kendaraan untuk mengantri menunggu penumpang. Dia berikan kunci mobilnya pada seorang calo sedangkan dia sendiri dengan santai menuju rekan-rekannya sesama supir angkutan kota beristirahat.

“Ada berita apa?” tanyanya basa-basi pada Rohadi yang tengah asyik membaca koran.

“Biasa aja.” sahut Rohadi hampir tanpa ekspresi.

Burnama mengambil koran dari tangan Rohadi dan membacanya. Pada halaman muka tampak ulasan seorang ekonom senior tentang hebatnya indikator dan pencapaian perekonomian Indonesia di tahun 2010. Cadangan devisa yang besar, inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kinerja bursa efek yang menjadi salah satu terbaik di dunia, pendapatan perkapita yang hampir menembusi angka psikologis US $ 3.000 dan angka pengangguran yang berhasil ditekan. Wow!

“Negeri mafia!” gerutu Burnama. Sebal sekali dia terlihat dengan ulasan ekonom itu.

Para supir yang masih bercengkerama itu hanya menoleh sebentar ke arah Burnama.

“Kenapa, bro?” tanya Rohadi.

“Gua heran.” jawab Burnama, “Katanya ekonomi negara kita berhasil, tapi mana buktinya? Gua tetep aja miskin. Paling-paling yang menikmati cuma orang-orang itu doang. Iya, kan? Lama-lama gua rampok juga tuh uang Gayus!”

“Begini bro. Klo lu mau jadi orang kaya jangan jadi supir angkot dong ha ha. Gua cabut ah.”

“Sialan lu!”

Burnama tidak salah dengan apa yang dikatakannya itu. Pesatnya pembangunan di daerah di mana dia tinggal seperti kurang berimbas terhadap kehidupan sebagian penduduknya, paling tidak bagi keluarga dan para tetangganya yang secara turun-temurun terkenal kemiskinannya. Tuhan seperti mengutuknya agar tetap menjadi miskin. Begitu katanya suatu ketika. Meskipun dia sendiri berasal dari Medan, tetapi sejak menikah dengan mendiang isterinya yang asli dari kawasan Pasar Lama di Kota Tangerang, dia seperti telah menyatu dengan kehidupan warga di sekitarnya yang lazim dikenal sebagai Cina Benteng.

Hari ini, seperti juga kemarin dan hari-hari yang lalu. Pendapatannya sebagai supir angkutan kota tidak pernah bisa disisakannya untuk ditabung. Hanya cukup untuk membayar setoran, bensin dan sekedar untuk makan sehari-hari dengan Asien, anak semata wayangnya. Kalau nasib lumayan baik, dia pulang dengan membawa makan malam yang baik pula. Itulah mengapa setiap kali Asien perlu biaya untuk macam-macam kegiatan di sekolahnya, Burnama lebih banyak terdiam.

“Papa belikan bebek cabai hijau kesukaan Asien.” kata Burnama saat Asien menyambutnya di beranda rumah mereka yang sempit dan berdebu.

“Pasti Papa beli di Pasar Modern ya?” tanya Asien dengan girang.

Burnama tersenyum lalu masuk ke dalam kamar. Diambilnya dari atas lemari foto isterinya yang meninggal dunia bunuh diri karena tidak tahan hidup miskin. Burnama menangis dengan memeluk foto itu dan membawanya serta ke meja makan. Lalu katanya setengah bergumam, kita malam ini makan enak, Mama. Mama baik-baik ya di sana.

“Ada cerita apa dari sekolah Asien tadi siang?” tanya Burnama pada Asien memecah kesunyian sambil mereka menikmati santap malam.

“Enak ya Papa kalau kita jadi orang kaya,” sahut Asien. “Tadi Martha beli es krim yang ada di iklan televisi itu, Papa.”

“Terus?”

“Asien mau dikasih tapi teman-teman yang lain minta. Asien gak kebagian deh.”

“Nanti kalau Papa ada uang pasti Papa belikan untuk Asien.”

Asien juga bercerita kalau Martha dan teman-teman yang lain lusa mengajaknya belanja baju dan kebutuhan imlek, dan Asien menolak ajakan itu.

“Kenapa Asien gak mau ikut?” tanya Burnama dengan suara lembut.

“Takut Papa gak ada uang.”

“Sekarang kan baru hari Senin. Siapa tau besok Papa dapat uang banyak, kan Asien bisa ikut belanja dengan Martha.”

“Kapan ya Papa kita bisa seperti keluarga Martha?”

Burnama menarik nafas panjang sejenak. “Kalau toko milik orang tua Papa yang di Glodok tidak dibakar orang, keluarga kita pasti tidak menderita seperti ini.”

Asien terdiam dan melempar pandangan ke arah kamar orang tuanya. Ada kenangan buruk dari sana yang tak pernah bisa dilupakannya. Di pintu masuk itu, setahun yang lalu, Asien menemukan ibunya tergantung dengan kain terikat di lehernya. Di bawah kaki jenasah ibunya tergeletak sehelai kertas:

Untuk Asien dan Papa. Jangan menangis. Mama akan menuju syurga, tempat di mana tidak ada kesusahan, derita dan air mata.

*****

Pagi ini, seperti biasa, Asien selalu membawa bekal makan siangnya ke sekolah. Burnama tidak pernah sempat untuk memasak buat sarapan dan makan siang Asien. Dia hanya dapat membuatkan telur dadar untuk itu. Dan selalu telur dadar. Karena itu di sekolahnya, teman-teman Asien sudah bisa menebak bekal makan siang apa yang dibawa Asien.

Asien tidak peduli jika hal demikian menjadi bahan ejekan teman-temanya. Semua orang sudah tahu bagaimana kondisi keluarganya, jadi mengapa pula dia harus malu dan marah dengan ejekan itu? Beberapa teman yang baik hati sering memberikan sebagian bekalnya untuk Asien.

Tetapi siang ini teman-teman pria Asien sangat keterlauan. Beberapa di antara mereka sengaja menjatuhkan bekal Asien. Dan ketika nasi dan telur dadarnya jatuh bertebaran menyentuh tanah, mereka tertawa terpingkal-pingkal. Seorang dari mereka mengambil sebagian nasi dan dilemparan ke badan Asien. Yang lain mengikuti dengan tindakan yang sama.

Asien merasa sangat terhina kali ini. Teman-temannya dengan ganasnya seperti ingin merajamnya dengan bekal nasinya itu. Asien menangis dan berlari menuju ruangan kelasnya. Sebentar kemudian telah keluar dengan membawa tas sekolahnya di punggungnya.

“Asien mau ke mana?” tanya Martha dengan cemas karena saat itu memang belum waktunya pulang sekolah.

Asien yang marah tak berkata apapun sampai dia tiba di rumahnya dengan berjalan kaki. Dia melempar tas sekolahnya, berteriak dan menangis di depan foto ibunya. Lalu pada sehelai kertas dia menulis:

Mama, tanyakan pada Tuhan. Kenapa hidup kita selalu seperti ini? Jika kemiskinan itu adalah hukuman, apa salah kita? Jika derita ini ujian, akan sampai kapan? Kita selalu sembahyang kan, Mama? Kita hormati lelulur kita. Kita baik dengan tetangga kita. Kita selalu membantu teman-teman kita. Asien tidak tahan lagi, Mama. Asien ingin pergi saja bersama Mama ke syurga.

*****

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline