Mahasiswa KKN dari Angkatan 114 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kelompok 272 dan 273, diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan KKN di salah satu desa yang terletak di Kabupaten Malang. Desa tersebut dikenal dengan wisata religi yang sangat populer, yakni Pesarean Gunung Kawi. Tidak hanya menjadi pusat wisata religi, desa ini juga terkenal karena kekayaan budaya dan seni yang beragam dan menarik.
Desa yang menjadi tujuan KKN ini adalah Desa Wonosari, yang berlokasi di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Letaknya berada di kaki Gunung Kawi, yang menjadi batas alam antara Kabupaten Malang dan Kota Blitar. Gunung Kawi sendiri selain menjadi daya tarik wisata, juga memiliki nilai sejarah dan spiritual yang sangat kental bagi masyarakat setempat. Selain itu, kehidupan masyarakat di desa ini kental dengan tradisi yang masih lestari, menjadikannya tempat yang menarik untuk dieksplorasi baik dari segi pariwisata, budaya, maupun nilai-nilai spiritual.
Sebagai bagian dari program KKN, mahasiswa diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan potensi Desa Wonosari, baik dari segi pariwisata maupun dalam memperkuat nilai-nilai budaya lokal, sehingga kehadiran mereka bisa membawa dampak positif bagi masyarakat setempat. Salah satu daya tarik utama di desa ini adalah Pesarean Gunung Kawi yang memiliki keunikan tersendiri, yakni adanya akulturasi budaya yang tercermin dalam satu kawasan wisata.
Di dalam kompleks Pesarean Gunung Kawi, terdapat makam dua tokoh legendaris yang memiliki pengaruh besar baik bagi masyarakat Jawa maupun Tionghoa. Kedua tokoh ini dikenal karena kharisma yang kuat, sehingga mereka terus dikenang dan didoakan oleh masyarakat lintas etnis hingga saat ini. Mereka menjadi simbol persatuan yang melampaui batas agama, budaya, golongan, serta status sosial. Kehadiran mereka mencerminkan nilai-nilai harmoni, spiritualitas, dan penghormatan yang mendalam terhadap warisan sejarah yang tak lekang oleh waktu. Tokoh pertama adalah Kanjeng Kyai Zakaria II, yang juga dikenal dengan berbagai nama seperti Raden Mas Soerjokoesoemo, Raden Mas Kromodirejo, dan Eyang Djoego, serta dihormati sebagai Da Lao Shi. Sementara tokoh kedua adalah Eyang RM. Iman Soedjono, yang merupakan murid Eyang Djoego dan juga bangsawan dari Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dikenal dengan sebutan Er Lao Shi. Keharmonisan dan persatuan yang mereka wariskan terus hidup dalam setiap ziarah dan doa yang dipanjatkan, mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga warisan leluhur.
Selain itu, keunikan ini terlihat dari keberadaan dua tempat ibadah yang berbeda, yaitu Klenteng Kwan Im dan Masjid Besar RM Iman Soedjono, yang letaknya bersebelahan dan hanya dipisahkan dengan jarak sekitar 100 meter. Kedekatan fisik antara dua tempat ibadah ini mencerminkan harmoni dan toleransi antarumat beragama yang hidup berdampingan di kawasan tersebut. Akulturasi budaya di Pesarean Gunung Kawi tidak hanya menarik bagi wisatawan lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara yang ingin melihat dan merasakan bagaimana percampuran budaya dapat berlangsung dengan damai dalam sebuah tempat yang sarat akan nilai sejarah dan spiritual.
Selain memiliki masjid dan klenteng, Pesarean Gunung Kawi juga dilengkapi dengan sebuah sanggar yang dikenal dengan nama Sanggar Ngesti Budoyo Sanggar ini menjadi tempat untuk latihan dan persiapan pertunjukan wayang, karawitan, tari, serta berbagai kesenian lainnya yang berada di bawah naungan Yayasan Ngesti Gondo. Lokasi sanggar ini sangat strategis, terletak persis di depan Masjid Agung RM. Iman Soedjono, menjadikannya pusat aktivitas budaya dan seni yang penting di kawasan tersebut.
Sebagai pusat tempat ibadah, kawasan Pesarean Gunung Kawi juga menjadi titik sentral bagi berbagai kegiatan budaya dan ritual yang rutin dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal ini menjadikan tempat tersebut sebagai destinasi yang sarat dengan pengalaman spiritual, budaya, serta seni yang hidup dan dinamis. Budaya Kejawen yang kental masih sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sekitar Pesarean Gunung Kawi. Salah satu buktinya adalah masih lestarinya berbagai kesenian tradisional, seperti wayang kulit, yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Menariknya, seni pertunjukan wayang di kawasan ini tidak hanya dikuasai oleh para seniman senior, tetapi juga oleh pemuda-pemuda setempat yang masih berusia 17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi kebudayaan Jawa tetap berjalan baik dan seni tradisional tersebut masih dijaga dengan penuh kecintaan. Keberlangsungan seni wayang yang dilakukan oleh generasi muda menjadi bukti nyata bahwa budaya Jawa di kawasan Pesarean Gunung Kawi masih hidup dan dilestarikan hingga hari ini.
Selain seni pertunjukan, berbagai ritual adat dan upacara keagamaan yang bercampur dengan tradisi Kejawen juga masih dilaksanakan dengan khidmat, menunjukkan kuatnya ikatan masyarakat dengan nilai-nilai leluhur mereka. Kesenian dan budaya yang hidup berdampingan dengan ritual keagamaan di tempat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang tertarik dengan kebudayaan lokal dan spiritualitas.
Sebagai mahasiswa KKN dengan tema besar Asset Based Communities Development ABCD), kami merancang beberapa program kerja, dengan salah satunya adalah halal tourism sebagai program utama. Konsep halal tourism yang kami usung bukan hanya merujuk pada halal dalam pandangan agama Islam, tetapi juga lebih luas. Halal tourism di sini mengacu pada pariwisata yang membawa pengaruh positif, memiliki nilai-nilai yang baik, dan tidak melanggar norma agama atau budaya yang dianut oleh setiap masyarakat di kawasan tersebut.