Lihat ke Halaman Asli

Catatan Alana 2(gerimis)

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.

“Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana”

Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya.
Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah. Tanpa bermaksud merendahkan
kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak
percaya.

Bagaimana mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam
kehidupanku. Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan
tentangnya. Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.

Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris
terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada
redaktur sore ini juga. Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya.
Semua sudah ada di kepala.

Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam. Tanganku
tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10
angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti. Bahkan
tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N
A…

Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera
batin. Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris
tak terlawan. Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu
krypton?

Arrgghh…mengapa
aku masih saja seperti ini.

Alana adalah kosong. Nama dan bayangannya telah kubunuh
bertahun-tahun lalu.

Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau
sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu. Ia
hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki
itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.

Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku
berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah
lenyap. Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai
kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline