Lihat ke Halaman Asli

Adhe Junaedi Sholat

Memahamimu. Memahamiku

Mengapa Kita Mesti Berhemat?

Diperbarui: 18 Oktober 2018   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(lifehacker.com)

Bagi saya mengatur keuangan itu memang sulit. Sehemat-hematnya saya, bagi sebagian orang tetap dinilai boros. Atau giliran menjalankan proses hemat, bagi teman dekat dikatakan pelit.

Dikatakan pelit oleh teman memang menyebalkan, membuat saya naik pitam, apalagi ketika memang saya lagi sedang dalam masa proses menabung. Mereka tahu saya tidak suka dikatakan pelit, tapi hanya dengan cara begitu saya akan mengeluarkan uang tanpa mau tahu apa yang mereka--teman-teman saya itu--butuh kan.

Perubahan sikap teman saya itu selalu ditunjukkan saat saya tidak punya uang. Dari yang biasa cerewet pada saya, tiba-tiba jadi hemat bicara. Dari yang kadang candain saya, tahu-tahu jadi dingin dan pendiam. Dari yang biasa peduli, tiba-tiba tidak peduli.

Mereka tidak tahu, kalau kiriman dari orang tua saya tidak selalu mengalir terus-menerus. Seperti sungai, kadang deras kadang kering. Kalau airnya deras dan jernih ya banyak pengunjung, giliran sungainya surut dan mengering jadi sepi pengunjung. Begitulah kira-kira.

Pertambahan usia dan pengalaman membuat pikiran juga lebih dewasa, sadar tidak sadar, saya sudah tidak pernah berpikir bahwa dalam sehari harus menghabiskan minimal berapa perak, atau membeli makanan yang tidak enak agar uang di dompet saya berkurang. Kebiasaan lama yang perlahan-lahan saya tinggal.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, menurunnya minat konsumsi khususnya kebutuhan tersier saya, juga dipengaruhi oleh buku dan artikel yang saya baca. Saya sedikit banyak membaca buku-buku yang membahas betul gaya hidup (Life syle) manusia, buku mengenai perubahan tatanan sosial di masyarakat, dan pernah juga membaca buku yang mengupas persoalan konsumsi di era masyarakat modern.

Saya sadari bahwa ini (dunia) memang dalam 10 tahun terakhir sudah berubah, dan terus-terus berkembang dan telah jadi keniscayaan yang tidak mungkin saya tolak tanpa ada upaya yang besar dan kuat yang mampu mengubah pusaran itu.

Saya akan memaklumi, jika orang-orang semakin senang jalan ke mal meski tujuan utama (membeli) tidak ada, menghabiskan waktu di restoran, memfoto makanan yang harganya mahal dan menyebarkannya di media sosial, menyewa kamar hotel hanya untuk perayaan ulang tahun, atau dari yang paling kecil--menyimpan setruk pembayaran parkir padahal sudah tahu nanti akan dibuang juga.

Bisa saja, bahwa yang barusan saya sebut di atas tidak jadi masalah bagi mereka yang punya uang banyak. Tapi, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi uang banyak, tetapi mengikuti tren-tren di atas? Saya tidak percaya bahwa ini tidak jadi masalah bagi mereka yang tidak memiliki modal (uang).

Tingkat pelacuran semakin tinggi, kasus pencurian dan penipuan. Apa yang mereka harapkan selain untuk mendapatkan uang? Tetapi, ada juga yang tidak se-ekstrem di atas, contohnya, ada yang memilih tidak makan seharian, agar bisa bayar minuman di Cafe mewah, menipu orang tua biar dapat kiriman lebih.

Era sekarang, perbedaan antara orang berada dan orang yang kurang berada sudah tidak terlalu terlihat lagi. Hampir sama. Dan, sebenarnya dalam konteks konsumsi, perbedaan tatanan masyarakat ini sudah tidak terlalu terlihat. Kelas-kelas sosial tidak ada lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline