Oleh: Adhe Ismail Ananda, S.H., M.H. (Dosen IAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka)
Larangan mudik Kembali dikeluarkan pemerintah dengan menyikapi kondisi penyebaran covid-19 ditahun kedua ini yang masih massif walaupun angka kematian karena pandemi ini mengalami penurunan. Akan tetapi larangan mudik ini seolah-olah kontraprodukktif dengan tetap dibukanya objek wisata yang juga jelas akan berpotensi memicu terjadinya kerumunan yang mengakibatkan lahirnya klaster baru bagi kasus COVID-19. Dua kebijakan inilah yang dianggap membingungkan masyarakat.
Larangan tersebut termuat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 H/Tahun 2021 Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Pengendalian transportasi tersebut dilakukan melalui larangan penggunaan atau pengoperasian sarana transportasi penumpang untuk semua moda transportasi yaitu: moda darat, laut, udara dan perkeretapian, dimulai dari tanggal 6 Mei hingga 17 Mei 2021.
Disisi lain, selama masa tersebut kegiatan pariwisata tetap diperbolehkan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, tidak dilarangnya kegiatan wisata selama masa larangan mudik Lebaran bertujuan untuk menekan penyebaran dan penularan Covid-19, tetapi bukan untuk membuat aktivitas ekonomi terutama sektor pariwisata juga ikut berimbas secara drastis. Sikap pemerintah inilah yang kemudian penulis anggap sebagai sebuah paradoks dan kontraproduktif.
Dalam kondisi sperti ini, Negara memang dapat mengambil tindakan luar biasa (ordinary policy) untuk menanggulangi penyebaran Covid-19 dalam rangka menjaga, melindungi dan memenuhi hak hidup masyarakat. Sesuai dengan jargon pemerintah yang sangat terkenal itu, Salus Populi Suprema Lex Esto (Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)) bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Menjadi pertanyaan kemudian, apa yang menjadi tolak ukur bagi pemerintah bahwa kebijakan yang dikeluarkan itu adalah untuk keselamatan rakyat. Jangan sampai justru kebijakan tersebut melanggar nilai-nilai konstitusi walaupun dengan tujuan dan niat yang baik, katakanlah PERPU No. 1 Tahun 2021 yang sangat kontroversial dan tak sedikit yang menganggapnya sebagai kebijakan yang menabrak konstitusi dengan dalih itikad baik yang sekali lagi tolak ukurnya tidak jelas itu.
Seharusnya prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto yang idealnya termanifestasikan dalam kebijakan porsi Kesehatan dan porsi ekonomi setidaknya berimbang, bukan malahan porsi ekonomi lebih diutamakan daripada porsi Kesehatan. Ini juga sebenarnya paradoks. Karena memang dalam perspektif hukum dan kekuasaan, pemerintah selalunya menggunakan logika politik daripada logika hukum terhadap segala kebijakannya yang tentunya bermuara pada nilai-nilai pragmatis.
Input lemahnya Hukum adalah Output menguatnya kekuasaan, sementara Input menguatnya hukum adalah output melemahnya kekuasaan dapat diartikan bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan malahan hukum dibuat untuk memperkuat kekuasaan. Akibatnya adalah produk hukum yang dihasillkan termasuk dalam kondisi covid 19 ini adalah produk yang sifatnya elitis dan terkesan formalitas. Idealnya tujuan dan niat baik dari pemerintah untuk memenuhi keselamatan rakyak yang dimaksud haruslah diikuti dengan cara berhukum yang benar. Tidak sedikit kita temui produk hukum, katakanlah surat edaran yang orientasinya pada upaya pencegahan covid-19 tapi justru materi yang dimuat adalah perintah, larangan bahkan penjatuhan sanksi. Ini adalah salah satu potret sikap paradoks.
kaitannya dengan kebijakan mudik dengan wisata dalam kondisi covid-19, perlu melihatnya secara komperhensif dari sudut pandang akar masalah yang sedang dihadapi. Setidaknya ada dua akar masalah yang penulis maksud, yaitu adanya kerumunan dan adanya pergerakan. Pertanyaan selanjutnya, apakah mudik dan wisata itu sama-sama menimbulkan kerumunan atau pergerakan? Kalau jawabannya iya, maka kebijakan yang digunakan untuk menanggapi kedua hal tersebut harusnya sama, inilah yang dikatakan konsisten, sejalan dengan logika penerimaan masyarakat secara umum terhadap setiap produk hukum atau kebijakan pemerintah.
Dalam perspektif pembagian urusan pemerintahan, peran pemerintah daerah disini sangat dibutuhkan untuk turut serta bertanggung jawab, baik itu dalam hal pencegahan penyebaran covid-19 maupun dalam hal menerjemahkan segala kebijakan pemerintah pusat. Para epidemiolog sebelumnya turut menilai dan mengingatkan bahwa pembukaan tempat wisata pada masa libur Lebaran juga adalah kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya pencegahan penularan virus corona. Kebijakan larangan mudik secara tegas harus konsisten terhadap kebijakan pembukaan tempat wisata yang penuh resiko dan berpotensi menjadi klaster baru.
Oleh karena itu dibutuhkan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap produk hukum maupun kebijakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan segala kewenangan yang dimiliki dituntut harus mampu menerjemahkan produk hukum maupun kebijakan dari pemerintah pusat tersebut secara komperhensif. Jangan sampai, peningkatan kasus Covid-19 yang terjadi di beberapa negara yang melakukan pelonggaran terhadap tempat wisata terulang di Indonesia. Dengan harapan bahwa bukan hanya pemerintah yang berperan, tetapi juga masyarakat untuk Bersama-sama menahan diri agar tidak berada pada tempat yang penuh kerumunan