Selain mengeluarkan PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 yang membuat banyak pihak merasa khawatir dengan keberadaannya, Presiden Jokowi juga secara resmi menerbitkan PERPPU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
PERPPU ini merupakan regulasi dan akan menjadi payung hukum tentang penundaan pelaksanaan pilkada serentak yang bergeser dari bulan September ke bulan desember tahun 2020. PERPPU Nomor 2 Tahun 2020 ini merupakan satu dari sekian banyak aturan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam menyikapi Pandemi Covid-19 di Indonesia.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, ada beberapa urusan daerah yang harus dilaksanakan oleh kepala daerah. Diantaranya adalah diwajibkannya pelayanan dasar, seperti pendidikan, sosial, kesehatan, dll. Tentunya ini dapat di implementasikan dalam berbagai bentuk bantuan-bantuan sosial yang harus dituangkan dalam APBD setiap provinsi dan kabupaten/kota.
Problem yang kemudian muncul adalah adanya pandemi Covid-19 yang juga kemudian melahirkan PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 terkait Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untukk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang diantaranya mengatur bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan pengalokasian anggaran untuk kegiatan-kegiatan tertentu termasuk perubahan alokasi.
Dalam prakteknya, penyaluran bantuan-bantuan sosial ini patut diduga sebagai kampanye terselubung karena banyaknya label-label foto kepala daerah dalam berbagai jenis bantuan yang disalurkan.
Tentunya ini sangat mempengaruhi kedalam pasal 71 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang pada intinya melarang Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota untuk menggunakan kewenangan, program yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan yang efeknya dapat membuat calon kepala daerah/petahana di diaskualifikasi. Kaitannya dengan PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, apakah tindakan semacam itu adalah hak imunitas dari kepala daerah?
Pasal 71 UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada, secara filosofis lahir untuk menuntut kebersamaan hak dan kewajiban antara pejabat publik dengan kepala daerah yang bersaing pada penyelenggaraan pilkada. Pasal ini juga membatasi kewenangan kepala daerah selama menjadi calon kepala daerah petahana. Jadi semua peserta pilkada memiliki kesamaan untuk berusaha menang dipilkada tanpa ada yang merasa diuntungkan atau dirugikan.
Kata kunci Hak Imunitas dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 adalah Itikad Baik. Jadi segala tindakan yang dilakukan dan dimaksudkan itu harus berdasarkan Itikad Baik, tetapi jika dilakukan tidak dengan Itikad Baik maka tentu dapat menjadi persoalan hukum tersendiri. Tetapi juga menjadi pertanyaan mengenai sejauh mana ukuran suatu tindakan itu didasarkan atas Itikad Baik, sebab dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 sendiri tidak menjabarkan secara jelas mengenai itikad baik ini.
Berbeda dengan apa yang ada dalam penjelasan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang juga memuat unsur Hak Imunitas didalamnya dan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud Itikad Baik, yaitu (1) dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, atau tindakan lain yang berindikasikan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kemudian (2) dilakukan berdasarkan analisis yang mendalam dan berdampak positif, (3) diikuti dengan rencana tindakan preventif apabila keputusan yang diambil ternyata tidak tepat, serta (4) dilengkapi dengan pemantauan.
Dalam berbagai doktrin sendiri, dikatakan bahwa Itikad Baik itu dilakukan dengan maksud tanpa adanya tipu muslihat dan tanpa mengganggu pihak lain. Doktrin lain juga menyebutkan bahwa tolak ukur Itikad Baik sifatnya objektif dan subjektif.
Itikad Baik yang sifatnya subjektif adalah kaitannya dengan kejujuran atau sikap batin seseorang, sementara Itikad Baik yang sifatnya objektif kaitannya dalam setiap pelaksanaannya harus didasarkan pada kepatutan dalam masyarakat.