"Aku tidak mau menemuinya. Jangan habiskan waktumu untuk menghubungiku" ketusku, pada Dian adik tiriku, saat menelepon mengabarkan kondisi ayah sedang sakit.
"Kakak tega!, tidak menyesalkah seandainya ini permintaan terakhirnya ?"
"Jangan menuduhku tak punya perasaan, kamu tidak tahu betapa sulitnya hidup yang kami lalui karena perbuatannya"
****
Kebencianku pada ayah tak menyisakan sedikitpun kesan baik terhadapnya. Penelantaran dan penderitaan yang ditorehkannya padaku, ibu dan kedua adikku tak bisa kumaafkan.
Masih lekat dalam ingatan, 30 tahun lalu ayah tega mengusir ibu karena tidak setuju dirinya menikah lagi. Ibupun memboyongku dan kedua adiku terpaksa menumpang di rumah nenek.
Sejak saat itu tanpa bekal materi dan keahlian, ibu dipaksa mandiri karena keadaan. Pekerjaan halal apapun di lakoninya dengan sabar. Tak ada keluh kesah meski guratan garis wajahnya terlihat menderita.
Sebagai anak laki laki tertua, aku ikut memikul tanggung jawab membantu ibu mencari penghasilan tambahan. Masa kecil yang seharusnya menyenangkan dihabiskan dengan bermain kulewati dengan kerja keras. Sepulang sekolah aku langsung ke terminal menjadi pegadang asongan atau kadang berkeliling menjajakan hasil masakan ibu, kernet angkutan umum dan ngamen pun pernah kulakoni.
Seiring waktu keinginan untuk bertemu ayah atau berharap mendapat kasih sayangnya bukan hal yang kami inginkan lagi, apalagi aku dengar lelaki itu sudah bahagia dengan keluarga barunya.
Dunia yang menempaku menjadi kuat tak menghianati usahaku. Kehidupan sulit yang selama ini jadi teman hidup lambat laun mulai berubah, aku bisa menyelesaikan kuliahku dan mendapatkan posisi lumayan di sebuah perusahaan.
****