Lihat ke Halaman Asli

Sosialita, Konsumerisme dan Status Sosial

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Bergelimang harta, glamour, hobi belanja barang mewah, dan suka menghambur-hamburkan uang. Kiranya hal-hal tersebut acapkali sering dikaitkan dengan kata - sosialita, sebuah kata yang dewasa ini sering berdengung di media massa. Keberadaan mereka ternyata cukup menarik perhatian masyarakat luas. Perilaku-perilaku yang mereka tampilan seakan menarik untuk diikuti lebih jauh, hingga media pun tak kuasa menahan “nafsunya” untuk meliput aktivitas-aktivitas yang bernuansa hedonis dan wow ini.

Sosialita tak ubahnya seperti syndrome yang muncul ditengah-tengah masyarakat metropolitan, yaitu masyarakat yang dicirikan dengan sisi ekonominya yang tinggi, industrialisasinya yang maju, serta modernitasnya yang canggih. Eksistensi mereka seakan merupakan impact dari proses modernisme yang tengah melanda seluruh negara di dunia. Di Indonesia fenomena sosialita juga tengah menjamur, entah memang karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang latah-budaya atau justru ada hidden goal yang ingin dicapai oleh kelompok sosial yang meng-klaim dirinya sebagai elite society ini.

Kemunculan sosialita tentu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, ada berbagai analisis yang mengulas tentang bagaimana komunitas sosialita ini lahir dan eksis. Belum banyak memang, studi atau penelitian yang membahas mengenai sosialita sehingga peneliti tertarik untuk memilih topik komunitas sosialita ini sebagai bahan penelitian.

Sosialita pada dasarnya merupakan komunitas yang belum banyak diketahui oleh khalayak pada umumnya. Namun menurut Veven Sp Wardhana, pengamat budaya, sosialita ternyata sudah ada sejak jaman orde baru. Kemunculan sosialita pada era Presiden Soeharto, kata Veven, sebagai dampak kemakmuran. Pada masa itu, sejumlah pengusaha meraup kesuksesan di atas rata-rata. Tetapi, kala itu keberadaan sosialita belum terendus dan cenderung tertutup terhadap publik.

Aktivitas-aktivitas yang rutin mereka lakukan biasanya arisan, berkumpul dengan kawan sosialita yang lain, hingga belanja barang-barang mewah yang kadang menyentuh angka miliaran. Arisan yang dilakukan pun bukan arisan biasa dengan nominal murahan, melainkan arisan mewah yang berkisar pada bilangan ratusan juta hingga miliaran rupiah. Bahkan tak jarang menggunakan berlian, tas hermes, dan barang-barang mewah lainnya untuk digunakan sebagai mahar arisan.

Kerangka Berpikir

Sosialita dapat dipahami dan dibedah dengan menggunakan konsep one dimensional society-nya Herbert Marcuse serta konsep Masyarakat Konsumsinya Jean P. Baudrillard. One Dimensional Society atau “masyarakat dengan kesadaran satu dimensi” merupakan istilah yang digunakan Marcuse guna mempresentasikan “masyarakat yang lumpuh daya kritisnya”. Penelaahan kita lebih dalam atas konsep one dimensional society tak dapat lepas dari catatan sejarah dan sepak terjang kapitalisme. Kapitalisme yang menurut Marx lahir pada abad 15 melalui pertumbuhan sejarah dan proses pengambilalihan yang juga menandai pergeseran "produksi untuk kegunaan" menjadi "produksi untuk pertukaran" faktual tak menemui kehancuran total seperti apa yang diprediksinya akibat overproduksi sirkuit modal.

Berlalunya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa -terutama setelah Perang Dunia ke II- mengiringi perubahan sepak terjang kapitalisme yang kental dengan eksploitasi semena-mena dan berbagai bentuk penindasan lainnya pada “kapitalisme yang humanis”. Kapitalisme dengan wajah humanis tak segan-segan memberikan jaminan kesehatan, asuransi, bonus akhir tahun dan sebagainya guna merangsang produktivitas. Pada tahapan ini, cara-cara eksploitatif telah ditinggalkan kapitalis dan sebagai gantinya ia memunculkan pertentangan kelas di dalamnya. Logika kapitalisme pun telah berubah, ia tak lagi berpikir bagaiman memproduksi barang dengan biaya semurah mungkin melainkan memproduksi berbagai kebutuhan dengan penciptaan image pencitraan melalui iklan-iklan.

Dalam kapitalisme lanjut nilai guna suatu komoditas tereduksi sedemikian rupa, dalam artian, suatu barang tidaklah menjadi populer dikarenakan kegunaannya melainkan terkait bagaimana komoditas tersebut diinterpretasikan, sebagai misal anak muda yang lebih memilih membelanjakan uangnya untuk membeli sepatu nike ketimbang sepatu cap cibaduyut karena lebih “gaul” dan sebagainya. Bagi Marcuse, masyarakat yang demikian lebih condong pada modus to have ‘memiliki’ ketimbang to be ‘menjadi’, sebagai misal, seorang merasa telah mencapai kesuksesannya bila memiliki rumah elite, mobil BMW, beberapa stel jas armanidan sebagainya, inilah esensi dari konsep one dimensional society yang dicetuskan Marcuse.

Sedangkan Jean Paul Baudrillard tertarik terhadap fenomena konsumerisme masyarakat modern dan keterkaitannya dengan perkembangan media massa kontemporer. Menurut Baudrillard, pola konsumsi masyarakat modern ditandai dengan bergesernya orientasi konsumsi yang semula ditujukan bagi “kebutuhan hidup” menjadi “gaya hidup”. Sosialita merupakan salah satu “korban” paling nampak yang dapat diamati. Sangat disayangkan pola konsumsi yang mereka lakukan lebih terpaku pada “merk” ketimbang produk sejenis lain yang berdayaguna sama dan berharga murah. Bagi Baudrillard, hal terkait menunjukkan betapa dewasa ini masyarakat lebih terpaku pada konsumsi simbol ketimbang kegunaan.

Pembahasan

- Apa itu Sosialita ?

Sangat sulit mencari definisi sosialita, riset yang dilakukan pun masih sedikit sehingga makna dan arti kata sosialita belum begitu jelas. Reverso Dictionary setidaknya memberi sekelumit informasi mengenai kata ini. Sosialita adalah sebuah akronim yang diserap dari bahasa Inggris ‘socialite’, berasal dari kalimat social dan elite.

“A socialite is a person who participates in social activities and spends a significant amount of time entertaining and being entertained at fashionable upper-class events” (“Sosialita adalah seseorang atau sekelompok orang yang selalu berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan menghabiskan waktu untuk menghibur dan dihibur pada acara-acara mode kelas atas”)

Selain itu terdapat pula beberapa sumber yang mendefinisikan bahwa sosialita adalah seseorang yang berasal dari keturunan bangsawan atau orang yang sejak dulu sudah kaya raya atau seseorang yang berpengaruh dan memiliki kemampuan sehingga mampu menggerakkan masyarakat. Orang dari kalangan sosialita memang memiliki harta yang berlimpah dan hidup dengan keadaan yang serba mewah. Golongan sosialita lebih kepada keluarga atau seseorang yang kaya raya dan suka berkecimpung dalam dunia sosial yang bertujuan untuk membantu banyak orang yang berekonomi sulit atau yang membutuhkan bantuan. Selain itu golongan sosialita sering membantu atau menyumbang hartanya untuk kegiatan kemanusiaan seperti bencana alam atau sekedar bersedekah untuk masyarakat miskin dan tentunya menyumbang dengan jumlah yang besar.

Dari definisi diatas ada perubahan konstruksi makna di dalam sosialita, sosialita saat ini cenderung sebuah kelompok masyarakat yang pamer kekayaan dengan berdandan glamour serta melakukan aktivitas-aktivitas hedonis seperti arisan bernilai ratusan juta, shooping tas hermes berharga hingga miliaran, serta ajang pamer gadget-gadget termutakhir yang mereka miliki. Definisi sosialita juga cenderung mengarah kepada sekelompok ibu-ibu muda atau bahkan tua, istri-istri dari para konglomerat yang biasanya bermatapencaharian pengusaha hingga pejabat negara. Entah sejak kapan kata sosialita kemudian melekat pada gender perempuan.

Pergeseran makna inilah yang kemudian harus kita amati lebih jauh, bagaimana sebuah kelompok yang awalnya memiliki moral value tinggi kemudian bergeser menjadi entitas yang meaningless. Bisa dikatakan bahwa saat ini definisi sosialita adalah definisi yang negatif tadi, bukan lagi merujuk kepada sebuah aktivitas sosial derma yang dulu pernah menjadi identitas kata sosialita.

- Masyarakat Konsumtif dalam Sistem Globalisasi dan Kapitalisme

Marcuse menjelaskan bahwa ada sebuah kondisi One Dimensional Society atau “masyarakat dengan kesadaran satu dimensi”. Ia ingin menunjukkan sebuah keadaan di mana masyarakat menjadi lumpuh daya kritisnya yang diakibatkan oleh sistem globalisasi yang berujung pada kapitalisme. Kapitalisme membuat masyarakat terbuai pada sebuah kesadaran semu, yang mana konsumerisme menjadi sebuah kebutuhan.

Kaum sosialita mengalami kelumpuhan daya kritis, nafsu konsumtif yang membelenggu membuat perhitungan ekonomi mereka menjadi “kacau”. Haus akan eksitensi membimbing mereka pada sebuah perilaku-perilaku hedonisme yang sering membuat masyarakat lain (yang kelas sosial dibawahnya) geleng-geleng kepala. Membeli barang mewah dengan harga yang fantastis merupakan sebuah prestasi dalam diri sosialita. Dengan kondisi keuangan mereka yang sangat melimpah ruah hal tersebut sebenarnya tidak masalah, namun ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut dibeli bukan atas dasar ‘kebutuhan’ melainkan sebuah ‘tren’, maka perilaku konsumerisme pun tercipta.

Para sosialita rela mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk membeli tas ataupun secuil berlian hanya untuk memuaskan hasrat belanjanya karena takut eksistensi kekayaannya memudar atau tidak diakui. Mereka sangat mementingkan brand dari produk yang dibeli, bagi mereka brand adalah tolak ukur eksistensi. Terkadang mereka juga melakukan arisan dengan jumlah iuran yang sangat fantastis, beberapa media mengabarkan nilai arisan ini bisa mencapai miliaran rupiah.

Menurut Baudrillard, pola konsumsi masyarakat modern ditandai dengan bergesernya orientasi konsumsi yang semula ditujukan bagi “kebutuhan hidup” menjadi “gaya hidup”. Pergeseran makna sosialita ini pun muncul dari sini, sistem kapitalisme “memaksa” mereka untuk mengubah orientasi konsumsi tersebut. Sangat disayangkan pola konsumsi yang mereka lakukan lebih terpaku pada “merk” ketimbang produk sejenis lain yang berdayaguna sama dan berharga murah. Bagi Baudrillard, hal terkait menunjukkan betapa dewasa ini masyarakat lebih terpaku pada konsumsi simbol ketimbang kegunaan.

Baudrillard memiliki beberapa konsep yang dapat dikaitkan dengan kondisi konsumerisme dalam sosialita, yaitu konsumsi simbol; simulacrum; hiperrealitas, distingsi dan sampah visual. Paragraf sebelumnya adalah penjelasan dari ‘konsumsi simbol’, itu adalah hal pertama yang akan menuntun pada proses-proses selanjutnya, tentunya juga hal pertama penyebab konsumerisme (dalam kacamata konsep Baudrillard).

Yang kedua, Simulacrum atau simulakra, merupakan sebentuk instrumen yang mampu merubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret dan begitu pula sebaliknya: konkret menjadi abstrak. Beberapa instrumen yang dapat terklasifikasi di dalamnya antara lain; televisi, video games, komputer/internet, surat kabar, majalah bahkan lukisan. Simulakra bekerja dengan menciptakan imajinasi dan hal-hal yang sifatnya fantasi. Salah satu karakter sosialita yang sering kita jumpai adalah tipikal pemikiran mereka yang cenderung menyukai hal-hal bernuansa kemewahan yang kadang di luar akal sehat.

Ketiga, hiperrealitas, hal ini menunjuk  pada segala sesuatu yang bersifat “melampaui kenyataan”. Menurut Baudrillard, hiperrealitas merupakan ciri paling kentara yang dibawa simulakra. Sebagai contoh, sebuah iklan sabun mandi yang digunakan oleh wanita membuatnya jadi pusat perhatian seluruh laki-laki yang melihatnya. Begitu pula dengan iklan minuman ringan yang dapat membuat seseorang melayang, atau iklan multivitamin yang dapat membuat anak cerdas seketika. Tak pelak, seluruh perihal tersebut sekedar menemui bentuknya sebagai hiperrealitas semata, yakni perihal yang tak nyata atau tak mungkin dalam kehidupan sehari-hari. Secara kasar, dapatlah dikatakan bahwa hiperrealitas merupakan “kebohongan” yang dibawa oleh simulakra. Lucunya adalah, hal-hal tersebut akhirnya dimaknai oleh masyarakat kebanyakan sebagai hal yang menarik dan harus dicoba (dimiliki). Inovasi marketing dan branding packaging seperti ini ternyata menarik perhatian para sosialita untuk mengikuti tren informasi apa yang ada, sehingga mereka harus memiliki barang yang sedang menjadi tren agar tetap bisa diakui eksistensinya.

Keempat, distingsi, merupakan “jarak sosial” yang diakibatkan oleh pilihan selera. Sebagai contoh, kalangan sosialita tentunya ogah untuk membeli pakaian dan busana yang mereka kenakan hanya di pasar atau bahkan awul-awul, yang mereka identikan sebagai low culture. Mereka tentu (pasti) memilih berbelanja di mall yang berkelas dan memilih pakaian dengan merk ternama yang berharga sangat mahal dan tentunya merupakan high culture. Konstruksi semacam inilah yang kemudian menjadi jurang pemisah curam antara kelas sosial sosialita yang tentunya high class dengan kelas masyarakat di bawahnya.

Kelima, sampah visual, menurut Baudrillard sampah visual merupakan kebiasaan akut para kapitalis yang gencar memasarkan produk-produknya melalui berbagai spanduk berikut banner di pinggiran jalan atau di pusat perbelanjaan justru “mendistorsi” alam pikiran mereka yang melihatnya. Sebagai contoh, di sebuah pusat berbelanjaan terpampang sebuah banner tentang produk kecantikan dengan modelnya yang teramat cantik. Kaum sosialita yang melihat iklan tersebut menjadi termotivasi untuk tidak kalah cantik dengan model yang terpampang pada banner. Alhasil mereka pun membeli produk tersebut sembari berharap agar tidak kalah cantik dengan model tersebut.

Hal yang paling ditakutkan dari pemikiran Baudrillard adalah berakhirnya kehidupan sosial mereka sendiri atau yang lain. Kaum sosialita sangat menikmati dunia mereka dengan segala aktivitas kelas atasnya. Mereka kadang lupa bahwa hakikat utama mereka adalah seorang ibu yang harus mengurus suami, anak, dan sanak keluarga yang lainnya. Peristiwa semacam ini seakan menghancurkan sisi-sisi moralitas manusia demi sebuah eksklusifitas kelompoknya.

- Sebuah Tren dan Kontestasi

Kemunculan dan ke-eksis-an kaum sosialita bisa dikatakan akan semakin menjamur dewasa ini. Bagaimana mungkin sebuah aktivitas meaningless ini mampu menjadi tren global. Sosialita menjadi tren di kalangan masyarakat berduit tebal, sebuah kelas sosial tinggi di dalam struktur sosial masyarakat. Munculnya kelompok ini adalah ajang eksistensi dan kontestasi untuk mengejar apa yang dinamakan dengan status sosial dan pengakuan diri. Semakin mereka mampu bertindak konsumtif dan berhedonis, maka akan semakin diakui kemapanan yang ia miliki. Hal ini seolah memicu semangat dan menciptakan sebuah kontestasi semu antar anggota sosialita.

Saat sosialita menjadi tren, masyarakat tajir yang diwakili ibu-ibu tersebut kemudian berlomba-lomba membentuk sosialitanya masing-masing. Ada sosialita istri pengusaha, sosialita istri pejabat, sosialita wanita-wanita karier, dan masih banyak lagi yang lainnya. Seolah tak ingin ketinggalan tren, mereka rela melakukan apa yang menjadi “rukun-rukun” sosialita dan ikhlas menjadi budak pasar atas dasar sistem kapitalisme.

Sosialita jelas tidak mencirikan karakteristik masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kesederhanaan dan kegotongroyongan. Namun apa daya, kondisi masyarakat Indonesia yang sedang “membangun” mengakibatkan apa-apa yang dianggap tren dunia akhirnya diserap mentah-mentah. Sifat-sifat tidak ingin kalah dengan masyarakat lain atau justru negara lain, serta mudah dibujuk rayu oleh permintaan pasar, mungkin adalah sifat-sifat warisan dan menjadi karakteristik masyarakat pasca kolonial. Hal tersebut pada akhirnya menjadikan sebuah kontestasi eksistensi yang prestise sehingga keberadaan sosialita di Indonesia bisa jadi akan terus-menerus muncul.

- Sosialita, Produk Hedonisme tanpa Makna

Sebenarnya tidak semua sosialita melakukan aktivitas-aktivitas yang bernuansa hedonis, terkadang mereka kembali pada definisi dan fungsi sosialita secara harfiah yaitu kegiatan sosial yang membantu sesama. Namun sosialita yang mana kah yang melakukan kegiatan sesuai definisi awalnya, ini yang bias. Media (bahkan publik) menggeneralisasi bahwa sosialita adalah produk hedonisme tanpa makna. Sah-sah saja pernyataan tersebut dikemukakan ke publik, karena memang pada realitasnya tidak sepenuhnya salah. Hanya saja terkadang, dan menurut pengakuan mereka, aktivitas-aktivitas yang dilakukan kaum sosialita tidak melulu tentang aktivitas kemewahan. Sisi-sisi kepedulian kepada sesama juga menjadi “program kerja” mereka, menyisihkan hasil arisan atau memang sengaja iuran kemudian diserahkan kepada yang berhak menerima adalah hal yang mereka coba lakukan.

Apa yang mereka lakukan (aktivitas rutin) sebenarnya masih cukup klise, rasa empati yang muncul kepada sesama dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial apakah didasarkan pada kesadaran sosial individu-individu sosialita, atau hanya karena takut mendapat stigma negatif dari masyarakat umum akan perilaku-perilaku mereka yang biasanya hedonis, kaum sosialita mengelak dan (selalu) berusaha memberikan pemahaman kepada publik bahwa apa yang mereka lakukan ini bernilai positif karena membantu sesama.

Sosialita menjadi benar-benar tak bermakna tatkala tujuan yang dikejar adalah status sosial, eksistensi, dan pengakuan. Demi meraih itu semua terkadang hal-hal yang tidak penting bahkan diluar akal sehat sering mereka lakukan. Namun sosialita menjadi bermakna baik ketika dia kembali kepada makna awal munculnya definisi sosialita sendiri, yaitu membantu masyarakat yang membutuhkan.

Kesimpulan

Sosialita telah mengalami pergeseran makna yang cukup jauh dan melenceng dari makna awal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal : globalisasi, kapitalisme, dan karakteristik masyarakat pasca kolonial itu sendiri. Memang poros dari ketiga hal tersebut adalah kapitalisme, namun tidak serta merta faktor eksternal saja yang membuat sosialita akhirnya menyambangi masyarakat Indonesia. Ada faktor internal yang tak kalah berpengaruh di sini, sifat pekewuh masyarakat Indonesia membuat gelombang arus globalisasi dan kapitalisme dengan mudah merasuki masyarakat itu sendiri. Sifat pekewuh inilah yang menurut saya menjadi ciri khas budaya Indonesia dan sekaligus karakteristik masyarakat pasca kolonial yang masih lestari.

Kaum sosialita yang baru, mengalami kelumpuhan daya kritis, nafsu konsumtif yang membelenggu membuat perhitungan ekonomi mereka menjadi “kacau”. Haus akan eksitensi membimbing mereka pada sebuah perilaku-perilaku hedonisme dan konsumtif. Permasalahan utama kaum sosialita adalah pandangan mereka tentang kebutuhan, ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut dibeli bukan atas dasar ‘kebutuhan’ melainkan sebuah ‘tren’. Mereka sangat men-dewa-kan brand, bagi kaum sosialita hal itu adalah identitas mayor yang harus dipahami untuk bisa terus eksis.

Fenomena ini dapat dimaknai secara nakal pula bahwa ternyata masyarakat Indonesia dengan kekuatan ekonomi yang seperti sekarang ini mampu menciptakan sisi lain dari proses pembangunan dan sistem ekonomi yang terus berlangsung. Kemunculan sosialita bisa jadi mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia ternyata sudah mampu menciptakan sekelompok atau segelintir kaum kaya raya yang (justru mungkin) menjadi pilar ekonomi bangsa.

Dalam bahasa jawa pekewuh diartikan sebagai perasaan individu yang tidak enak hati pada faktor-faktor diluar individu yang pada akhirnya memaksanya untuk ikut melakukan apa yang dilakukan oleh individu lain dalam sebuah sistem.

http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/09/sketsa-pemikiran-jean-p-baudrillard.html

Doni Gahral Adian, op. cit., h. 62-64.

Karl Marx, Kapital (Buku I), Hasta Mitra, Jakarta, 2004, h. 800-821.

Doni Gahral Adian, op. cit., h. 193.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline