SIAPAPUN tahu, Amerika adalah representasi nyata dari negeri kapitalis. Tesis umum yang berlaku bagi negeri kapitalis adalah peran negara yang minimal. Sering juga konsep negara seperti ini disebut sebagai pemadam kebakaran. Sementara Indonesia, dalam konstitusi sesungguhnya sangat kental dengan aroma sosialis. Seperti terbaca dalam konstitusi kita, dimana kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat. Indonesia juga selalu memuja Demokrasi Pancasila, yang pada intinya menempatkan negara sebagai pihak yang tidak abai atas persoalan sosial dan ekonomi warganya.
Namun kasus kebocoran minyak di Teluk Meksiko dan banjir lumpur yang sudah menahun di Sidoarjo memberi gambaran kontras tentang peran kedua negara dalam hubungannya dengan pemilik modal dan dengan komitmen negara untuk menjaga kepentingan warganya. Dalam kasus Teluk Meksiko, Presiden Obama mampu bertindak tegas. Atas perisitiwa yang melibatkan korporasi raksasa perminyakan seperti British Petroleum (BP), Obama berdiri di garis paling depan. Obama bahkan menunda kunjungannya ke Indonesia dan beberapa negara lainnya karena memandang kasus kebocoran minyak yang disebabkan oleh BP lebih urgen. Banjir minyak di Teluk Meksiko akan berakibat buruk pada kualitas ekologi, juga akan berdampak pada kesehatan publik Amerika. Obama secara tegas memberi ultimatum kepada BP untuk menyelesaikan kasus tersebut. Ia bahkan tak segan-segan mengancam BP jika mengabaikan persoalan tumpahan minyak. Tak lupa, jalur diplomatik pun digunakan Obama dengan Inggris mengingat seriusnya bahaya pencemaran laut. Dalam kunjungannya ke Amerika yang saat ini tengah berlangsung, PM Inggris David Cameron dipastikan akan menempatkan kasus BP sebagai pembicaraan paling krusial bersama Obama.
BP pun ketar-ketir, bukan semata-mata oleh dampak buruk yang disebabkan tumpahan minyak, namun juga oleh sikap tegas Presiden Obama. Obama seakan mempertaruhkan dirinya untuk berdiri paling depan memberi perlindungan bagi masyarakat Amerika sebagaimana janjinya pada saat kampanye. BP pun dengan sekuat tenaga dan dana berusaha mengentikan semburan minyak di lepas pantai itu. Kabar terbaru menunjukkan bahwa BP berhasil menutup semburan minyak. Kurang dari empat bulan, BP relatif bisa mengendalikan semburan minyak dan mencegah bahaya yang lebih besar. Tidak hanya dalam upaya mengentikan semburan, BP pun berkomitmen untuk memberikan dana kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak pencemaran laut Teluk Meksiko. Dana yang digelontorkan perusahaan asal Inggris tersebut pastilah amat besar. BP bahkan harus menjual seluruh asetnya di seluruh dunia senilai 20 milyar dollar AS untuk mengatasi tumpahan minyak.Upaya dan komitmen BP sedikit banyak telah menghentikan kekhawatiran publik Amerika yang amat marah dengan adanya kasus tumpahan minyak terbesar dalam sejarah.
Dalam kasus Lapindo Brantas yang sudah berlangsung empat tahun, dimana peran negara? Bagaimana posisi negara berhadapan dengan korporasilokal milik group Bakrie ini? Berbeda dengan panorama yang ditampilkan Obama, dalam kasus Lapindo penyelasesaian sangat berlarut-larut. Alih-alih memberikan sangsi tegas kepada pihak perusahaan yang secara nyata menjadi penyebab banjir lumpur yang hampir menenggelamkan desa. Negara seakan takluk di bawah korporasi tingkat lokal. Yang lebih menyedihkan, anggaran penanganan untuk menghentikan semburan lumpur tidak diambilkan dari kocek PT Lapindo Brantas, namun dari APBN! Sudah hampir 4 trilyun dana negara habis untuk penyelesaian kasus yang hingga kini masih menyesakkan masyarakat Sidoarjo itu. Padahal menurut ahli geologi, tingkat kesulitan penanganan kasus Teluk Meksiko jauh lebih kompleks dan rumit karena lokasinya di tengah laut lepas. Sedangkan kasus Lapindo berlangsung di daratan.
Terhadap Lapindo, negara sepertinya memberi ruang kompromistis serta tempat yang cukup layak secara politis kepada Aburizal Bakrie. Ini juga bisa dibaca dari sisi yang lain, betapa group Bakrie itu terus menghampiri pusat gravitasi kekuasaan untuk membentengi berbagai kasus yang menimpa usaha yang dikendalikannya. Jalur politik yang dekat pastilah membawa dampak bagi relasi negara dan korporasi di bawah naungan group Bakrie.
Kasus Teluk Meksiko dan banjir lumpur Sidoarjo memberi lanskap jelas tentang relasi negara dan dunia korporasi. Amerika di bawah Obama menampilkan diri sebagai negara yang kuat (strong state). Sementara Indonesia di bawah SBY menjadi negara lemah (weak state). Obama tak ingin takluk dalam kuasa modal, sementara SBY begitu canggung menghadapi kekuatan korporasi. Kita juga bisa memberi perbandingan tentang keberanian para pemimpin: mana yang bertanggungjawab dan mana yang berkelit dari kasus yang mengancam kehidupan warga negara. Bahkan di negara yang kita anggap paling liberal dan paling kapitalis sekalipun, perlindungan dan penciptaan rasa aman bagi warganya masih tetap menjadi prioritas. Merujuk pada prinsip dasar konstitusi dan dasar negara di Republik ini, seharusnya kita lebih dari itu…..Entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H