Lihat ke Halaman Asli

Ade Tanesia

Antropolog

Kemegahan IKN & Nestapa Masyarakat Adat Balik

Diperbarui: 12 September 2024   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: ade tanesia 

"Saya sudah harus mengosongkan rumah, padahal belum mendapat uang kompensasi. Anak-anak akhirnya saya sebar ke keluarga lain." Inilah ungkapan teman saya dari Suku Balik yang tinggal di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Rumahnya berada di ring 1 kawasan IKN sehingga terkena dampak pembangunan IKN. Sayangnya dalam pembangunan ini banyak masyarakat adat yang berada di sekitar ring 1 "dipaksa" pindah. 

Ada beberapa keluarga yang tetap bertahan meski rumahnya sudah berbatasan dengan tembok bendungan Intake yang dibangun untuk pasokan air di kompleks IKN.   Kawasan IKN bukanlah wilayah tanpa penduduk. Di sana hidup masyarakat adat dari berbagai suku, dan transmigran yang mayoritas dari Pulau Jawa. Masyarakat adat yang terbanyak di  ring 1 di Kecamatan Sepaku adalah masyarakat adat Suku Balik. 

Sekilas Sejarah Masyarakat Adat  Balik

Sebelum Sepaku ditetapkan sebagai wilayah inti IKN Nusantara, tidak banyak yang tahu tentang Suku Balik. Identitasnya sering dianggap sub Suku Paser, namun masyarakat adat Suku Balik sendiri menolak bahwa mereka bagian dari Suku Paser. Dahlia Yati mengatakan bahwa perbedaan itu ada pada aspek bahasa, dialek, dan juga Suku Balik merupakan bagian dari Kerajaan Kutai Kertanegara. "Kami dibilang Paser Balik sejak wilayah Sepaku menjadi bagian dari Kabupaten Penajam Paser Utara," ujar Pak Rimba (66), salah satu tokoh adat Suku Balik.

Ritual penyambutan tamu oleh tetua adat Suku Balik (Foto : Ade Tanesia)

Konon Suku Balik awalnya bermukim di wilayah Balikpapan. Wilayahnya menjadi bagian dari  daerah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara. Ada sebuah cerita turun temurun bahwa Suku Balik kerap membuat papan untuk menyuplai kebutuhan Kerajaan Kutai. Suatu waktu, Suku Balik diminta untuk menyumbangkan  papan putih ke Kerajaan Kutai Kartanegara. Sesampainya di Kerajaan Kutai Kartanegara, mereka menyerahkan papan tersebut, namun papan itu ikut pulang bersama para pengantar papan tersebut dari belakang. Papan itu diantar kembali ke Kerajaan Kutai, namun ikut pulang kembali lagi ke tempat Suku Balik. 

Atas kejadian ini akhirnya Kerajaan Kutai menyebut wilayah Suku Balik dengan sebutan Balikpapan. Selain menjadi penopang kebutuhan papan di masa Kerajaan Kutai Kartanegara, masyarakat adat  Suku Balik juga memberikan tenaga dalam pembangunan infrastruktur,  sementara di masa belanda mereka ikut serta dalam pembangunan Jalan Setrat.  Lebih lanjut Mulianti menjelaskan  ketika sebuah perusahaan minyak Belanda memulai mengeksplorasi minyak bumi di Balikpapan, masyarakat adat  Suku Balik ini memilih mundur ke pedalaman. Hal ini disebabkan mereka semakin sulit untuk mencari makan, berburu binatang buruan yang  makin terdesak. 

Mereka bergerak mundur menyisir sungai. Cabang-cabang sungai yang diingat antara lain adalah Sepaku, Pemaluan, Rico Sotek. Desa Pemaluan (dulu: Maridan) dan Binuang (dulu: Belalang) adalah kampung-kampung yang dibuka oleh Suku Balik. Wilayah Sepaku kemudian menjadi ruang hidup terakhir bagi masyarakat adat Balik sampai sekarang. 

Masyarakat Adat Balik biasanya hidup di dekat sungai, dan Sungai Sepaku merupakan ruang hidup yang strategis bagi mereka. Sepaku adalah sebutan dalam bahasa Balik.   Sepaku berasal dari penggalan kata "Se" yang bermakna sebagai ajakan, sedangkan "Paku" merujuk pada makna Sayur Pakis.  Jika dikombinasikan keduanya menjadi "Sepaku" yang didalam dialek Bahasa Balik bermakna "Daeh Taka Pok Sepaku" atau artinya adalah "kesana kita mencari pakis". Penamaan ini berangkat dari kondisi alam yang banyak tanaman pakis. 

Dalam perjalanannya, masyarakat adat Suku Balik juga mengalami tekanan yang hingga kini masih tetap diingat oleh  generasi mudanya. Salah satunya adalah  gerombolan Ibnu Hajar yang mengejar serta melakukan kekerasan terhadap warga masyarakat adat Balik. Gerombolan Ibnu Hajar atau yang lebih dikenal sebagai Gerombolan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) adalah gerakan yang lahir sekitar 1950-an di Kalimantan Selatan, yang tidak setuju dengan konsep negara Indonesia.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline