Lihat ke Halaman Asli

Ades Suntama

Pegiat Sosial

Dampak Perkawinan Anak pada Ketimpangan Gender di Indonesia

Diperbarui: 9 Januari 2025   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto leonardo.Ai

Perkawinan anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia, sebuah negara yang menempati posisi sepuluh besar dunia dengan angka tertinggi untuk praktik ini menurut data UNICEF (2023). Fenomena ini bukan hanya masalah individu, melainkan juga cerminan struktur sosial yang tidak setara dan budaya patriarki yang mengakar. Anak perempuan menjadi pihak yang paling rentan, terjebak dalam lingkaran ketidakadilan yang memperkuat ketimpangan gender. Praktik ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, kesehatan, hingga peran sosial perempuan dalam masyarakat.  

Dalam masyarakat Indonesia, norma budaya sering kali memandang anak perempuan sebagai beban ekonomi bagi keluarga. Dengan menikahkan mereka di usia muda, beban ini diharapkan berkurang, meskipun konsekuensi jangka panjangnya jauh lebih besar. Berdasarkan data BPS (2022), sebanyak 11,2% perempuan Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Ketimpangan ini menunjukkan bagaimana anak perempuan lebih sering menjadi korban dari sistem yang tidak adil. Dalam banyak kasus, mereka dipaksa meninggalkan pendidikan untuk menjalankan peran domestik sebagai istri dan ibu, yang mempersempit peluang mereka untuk berkembang secara pribadi maupun profesional.

Pendidikan adalah salah satu aspek pertama yang terkena dampak dari perkawinan anak. Anak perempuan yang menikah dini hampir selalu putus sekolah. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2022) menunjukkan bahwa hanya 14% anak perempuan yang menikah dini melanjutkan pendidikan hingga SMA. Dengan pendidikan yang terhenti, mereka kehilangan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, memperbesar ketergantungan ekonomi pada pasangan, dan menurunkan daya saing mereka di dunia kerja. Dampaknya tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif, karena hilangnya potensi kontribusi perempuan terhadap ekonomi negara.

Ketergantungan ekonomi ini sering kali berujung pada situasi yang lebih rentan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Komnas Perempuan (2023) mencatat bahwa perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki risiko 1,8 kali lebih besar untuk mengalami KDRT. Ketika perempuan tidak memiliki akses terhadap pendidikan atau sumber daya ekonomi, mereka sulit keluar dari situasi yang membahayakan tersebut. Selain itu, minimnya pengetahuan hukum dan akses terhadap layanan perlindungan memperburuk keadaan. Kondisi ini menggambarkan bagaimana perkawinan anak menciptakan jebakan sosial yang sulit dihindari, memperkuat ketimpangan gender yang sudah ada.

Dampak perkawinan anak juga terlihat jelas pada kesehatan fisik dan mental anak perempuan. WHO (2022) menyatakan bahwa kehamilan pada usia remaja memiliki risiko lebih tinggi terhadap komplikasi medis, seperti preeklampsia, kelahiran prematur, hingga kematian ibu. Tubuh anak perempuan yang belum sepenuhnya matang dipaksa untuk menjalani kehamilan, yang tidak hanya membahayakan kesehatan mereka tetapi juga menurunkan kualitas hidup mereka dalam jangka panjang. Selain risiko kesehatan, beban emosional yang ditanggung akibat tanggung jawab domestik dan tekanan sosial memperburuk kondisi mental mereka, menghalangi mereka untuk menjalani hidup yang penuh potensi.

Selain aspek kesehatan, perkawinan anak memperkuat stereotip gender yang membatasi perempuan dalam peran tradisional. Dalam banyak budaya di Indonesia, perempuan yang menikah dini dianggap hanya pantas mengemban tugas domestik sebagai istri dan ibu. Hal ini menghambat partisipasi mereka dalam ruang publik, baik dalam pekerjaan, pendidikan, maupun pengambilan keputusan. Norma ini bertolak belakang dengan tujuan kesetaraan gender yang diamanatkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin kelima. Selama praktik ini terus berlangsung, cita-cita untuk memberdayakan perempuan dan menciptakan masyarakat yang setara akan sulit tercapai.

Mengakhiri perkawinan anak memerlukan pendekatan yang komprehensif. Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 2019, yang menaikkan usia minimum menikah menjadi 19 tahun, adalah langkah awal yang baik. Namun, implementasinya masih lemah, terutama dengan maraknya dispensasi yang diberikan oleh pengadilan. Data Pengadilan Agama (2023) menunjukkan bahwa 63% permohonan dispensasi dikabulkan, sering tanpa mempertimbangkan dampak serius bagi anak perempuan. Pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap dispensasi ini dan memastikan bahwa kebijakan yang ada benar-benar diterapkan. Selain itu, pemberdayaan perempuan melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kampanye perubahan norma sosial harus menjadi prioritas.

Masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam mengubah budaya yang mendukung perkawinan anak. Kampanye publik, edukasi berbasis komunitas, dan advokasi kebijakan adalah cara-cara efektif untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya perkawinan anak dan pentingnya kesetaraan gender. Perubahan tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada perubahan nilai-nilai sosial yang mendukung peran perempuan di luar batasan tradisional.

Perkawinan anak adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang memperparah ketimpangan gender. Selama perempuan terus dipandang lebih rendah daripada laki-laki, praktik ini akan sulit dihilangkan. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, masyarakat, dan individu untuk menghentikan siklus ini. Sebagaimana dikatakan oleh Eleanor Roosevelt, "The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams." Masa depan yang lebih setara bagi perempuan Indonesia hanya dapat terwujud jika kita bersama-sama menghapus praktik perkawinan anak dan memberdayakan perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline