Lihat ke Halaman Asli

Ironi Teten Masduki: Aktivis Antikorupsi yang mendukung Korporasi Asing Korup dan Rakus

Diperbarui: 28 Oktober 2015   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bukan sekadar sikap ceroboh dan naif yang dinilai paling menyedihkan dari seorang Teten Masduki, Kepala Kantor Staf Presiden, ketika berbicara soal investasi Freeport di Indonesia.  Menurut Teten, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa kolaps jika investasi Freeport dihentikan.  Jelas sekali, pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) ini sangat bermental inlander dan tunduk pada kepentingan korporasi asing, penguras harta rakyat Indonesia. Teten seperti Agen Freeport.

Ironis. Sebagai pegiat antikorupsi, Teten harusnya paham dan asal bunyi, nilai kerugian bangsa ini akibat aktivitas Freeport  jauh lebih besar ketimbang jumlah seluruh nilai harta negara yang pernah dikorupsi sejak ICW didirikan.  Bahkan Freeport juga dikenal sebagai perusahaan yang korup. Buka arsip media, di sana Anda akan temukan betapa Freeport pernah menyuap aparat kemanan kita, pernah mencoba menyuap pejabat sekelas Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, serta mendekati elit politik seperti Amien Rais dan Rizal Ramli.

Kita tahu,  PT Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, yakni tambang Ertsberg (1967 s.d. 1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika.  Berdasarkan Kontrak Karya (KK) I antara pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur Company, melalui anak perusahannya PT Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), pada 5 April 196, Freeport mendapatkan lahan ekplorasi seluas 10.908 hektare untuk lama kontrak 30 tahun.

Sejak itu, harta Freeport mengalir ke induknya di Amerika dan Bumi Papua mulai terjarah serta tercemari. Apalagi, Freeport memperoleh kelonggaran fiskal antara lain, tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu, pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%.

Di samping tembaga, tambang Ertsberg juga menghasilkan emas. Emas, yang semula dinilai hanyalah by product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang ditemukan. Pada tahun 1995, Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua setelah (1973-1994) mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.

Keuntungan Freeport diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Kontrak diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pun, Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Persentase royalti yang didasarkan persentase penerimaan penjualan bersih sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak). Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare atau sama 1,5 kali luas Jawa Barat.

Di sisi lain, pemiskinan terus berlangsung di wilayah Mimika. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.

Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan, seperti HIV/AIDS. Tercatat, jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS Indonesia berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia pada masa lalu dan kini. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan, pemerintah terkesan ‘buta’.

Freeport telah mendapatkan keuntungan yang melimpah dari sumberdaya mineral di Papua. Keuntungan tersebut telah menjadikan Freeport berubah dari perusahaan gurem, tak dikenal, menjadi perusahaan tambang raksasa di dunia hanya dalam waktu singkat.

Sekarang Teten Masduki sang pendiri ICW, tangan kanan Jokowi, menjadi pembela Freeport paling depan. Teten memang membantah pernyataannya semula. Tapi ia tidak melaporkan media yang memberitakan pernyataannya tersebut. Jadi, boleh jadi Teten memang punya sikap dan pandangan seperti yang ia kemukakan. Jadilah, pendiri ICW kini tak ubahnya penghamba korporasi asing yang korup dan agen neolib yang menguras kekayaan bangsa.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline