Lihat ke Halaman Asli

Penghapusan Desentralisasi Guru

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana pengambilalihan kewenangan guru dari pemerintahan daerah kabupaten/kota ke pemerintah (pusat) sepertinya benar-benar serius. Kementerian Pendidikan Nasional di dukung Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) tidak main-main menghapus desentralisasi guru. Alasannya sederhana, guru telah menjadi korban pilkada. Para kepala daerah dengan entengnya telah melakukan pemindahan dan pengangkatan guru tanpa prosedur yang seharusnya.

Kalau mau jujur, bukan hanya guru. PNS daerah diberbagai SKPD (provinsi maupun kabupaten/kota) kalau bukan melibatkan diri, yang ikut dilibatkan pun dalam pemilihan kepala daerah, juga menjadi korban kalau tidak untung mendapat jabatan strukutral atau strategis lain.

Kalau mau jujur lagi, bukan hanya guru yang kehilangan gairah mengajar karena pemindahan dan pengangkatan yang mengabaikan standar, norma, prosedur dan kriteria (NSPK), tetapi PNS dilingkungan SKPD pun juga kehilangan semangat kerja dan ini berdampak pula pada dinamika organisasi.

Putus Salah Satu Fungsi Rantai
Perlu diketahui penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak bersifat absolut/mutlak sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Hal ini oleh karena setiap kebijakan daerah (Peraturan Daerah) dan/atau kebijakan pemerintah daerah (Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah harus berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk kebijakan nasional berupa Norma, Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan pemerintah (Kementerian/Lembaga yang membidangi).

Pemerintahan daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan nasional dan NSPK yang ditetapkan pemerintah tersebut merupakan benang merah perekat hubungan dan pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang saling terkait, tergantung dan sinergi sebagai satu sistem pemerintahan (Pasal 11 UU No. 32/2004).
Termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan, ada fungsi koordinasi berupa pembinaan, supervisi, evaluasi dan monitoring dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah sesuai dengan asas dekonsentrasi.

Terkait desentralisasi guru, ada salah satu fungsi rantai tingkatan pemerintahan yang putus. Jika masing-masing tingkatan pemerintahan memahami tugas pokok dan fungsinya, tentu potret buram birokrasi korban politik lokal tidak akan kita temui, setidaknya bisa meminimalisir kebijakan kepala daerah yang mengabaikan NSPK dalam pemindahan dan pengangkatan PNS termasuk guru.

Bahwa fungsi utama pemerintah (pusat), adalah pembinaan, supervisi dan evaluasi/monitoring terhadap kinerja gubernur. Selanjutnya, melalui asas dekonsentrasi, pemerintah melimpahkan sebagian kewenangannya kepada gubernur untuk melakukan hal yang sama (pembinaan, supervisi, dan evaluasi/monitoring) terhadap kinerja bupati/walikota.

Pelimpahan kewenangan itu tentu saja bukan dengan air liur semata ataupun dengan selembar surat keputusan, tapi, disertai dengan pendanaan yang cukup yang dananya berasal dari APBN sesuai dengan urusan atau tugas yang didekonsentrasikan.

Namun, implementasi dekonsentrasi (pembinaan, supervisi, dan evaluasi/monitoring) selama ini tidak berjalan maksimal, karena alokasi dana untuk kegiatan-kegiatan tersebut sangat minim. Pemerintah cenderung mengalokasikan dana dekonsentrasi dalam bentuk kegiatan fisik, dibanding kegaiatan rapat korodinasi dalam rangka pembinaan, supervisi dan evaluasi/monitoring tersebut. Padahal sangat jelas melalu PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, kegiatan yang didanai dari dekonsentrasi adalah urusan pemerintah pusat berupa kegiatan non fisik.

Pemerintah tidak boleh serta merta menganggap daerah telah gagal mengurus guru. Sebab boleh jadi, fungsi rantai pemerintahlah yang putus. Fungsi pembinaan, supervisi, evaluasi dan monitoring yang diemban pemerintah tidak dijalankan. Bisa jadi pengelolaan guru di pemerintahan daerah kabupaten/kota gagal atau tidak sesuai dengan bentuk yang seharusnya oleh karena kebijakan walikota/bupati dalam pemindahan ataupun pengangkatan guru, kurang mendapat pembinaan, pengawasan bahkan evaluasi dari gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Fungsi yang diemban gubernur ini pun tidak jalan, bisa jadi karena kurangnya dukungan dana dari pemerintah dan/atau oleh karena kurangnya pembinaan, evaluasi dan monitoring yang diterima gubernur dari pemerintah.

Dimana pemerintah pusat saat guru ataupun PNS SKPD dipindahkan dan diangkat oleh para kepala daerah yang mengabaikan NSPK? Mestinya para kepala daerah yang mengeluarkan kebijakan tersebutlah yang diberi sanksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline