Lihat ke Halaman Asli

Sengketa Lahan TNI AU

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UUD 1945 mengamanatkan agar bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai Negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun jika kekayaan negara berupa lahan seluas 1.164 Ha hanya dijadikan lahan tidur, dapatkah rakyat memiliki sebagian untuk dikelola untuk kemakmurannya?

Klaim kepemilikan TNI AU berupa lahan seluas 1.164 ha yang terletak di Kecamatan Ranometo, Ranometo Barat dan Konda Kabupaten Konawe Selatan, menimbulkan polemik dengan warga sekitar. Warga menilai, dari 1.164 Ha tersebut, ada 60 Ha milik leluhur mereka yang sebagian memiliki bukti otentik (administratif) namun sebagian lainnya tidak.

Dalam forum dengar pendapat yang diselenggarakan Komisi I DPRD Sultra dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sultra pada Senin (24/5), dikatakan BPN bahwa lahan yang digunakan TNI AUdidasari pada sertifikat hak pakai yang dikeluarkan sejak 1979 oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Kendari. Lahan itu diberikan kepada atas nama Komando Daerah Udara III, yang diperuntukan untuk Bandara Haluoleo (dahulu bernama WolterMinginsidi). Namun oleh pihak bandara, lahan yang dikelola untuk kebutuhan bandara dipinjam pakai dari TNI AU dengan luas 114 Ha. Artinya, dalam sertifikat itu antara “pemilik” hak dan peruntukannya tidak sejalan.

Dengan demikian, menjadi pertanyaan besar publik saat ini dan warga sekitar khususnya, jika lahan tersebut diperuntukan untuk Bandara Haluoleo sebagaimana yang tercantum dalam sertifikat, mengapa TNI AU adalah pihak yang diberikan hak pakai? Kedua hal ini berbeda fungsi dan lembaganya. Bandara adalah penerbangan sipil, sedang TNI AU mengelola pangkalan udara militer.

Fakta hari ini adalah lahan 1.164 Ha milik TNI AU digunakan untuk pangkalan udara; Bandara Haluoleo yang dikelola UPT. Bandara Ditjen Perhubungan Udara - Kementerian Perhubungan RI; SD, SMP, dan SMA yang dikelola Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe Selatan. Sungguh suatu pemandangan yang tak lazim.

Ketidaklaziman ini bukan saja karena peruntukannya yang sudah menggurita ke instansi pemerintahan lain, tetapi cukup berbahaya untuk kepentingan pertahanan keamanan, karena yang namanya penerbangan militer (pangkalan udara), tempatnya nyaris terisolir dari akses sipil.

Atas fakta-fakta itu, warga sekitar berharap BPN harus mengevaluasi kembali pemberian sertifikat hak pakai atas lahan 1.164 Ha kepada TNI AU. Peruntukannya untuk bandara sipil, tapi hak pakainya diberikan kepada Komando Daerah Udara III sebagaimana yang tercantum di sertifikat. Yang lebih ironis lagi, ribuan hektar lahan subur itu tidak termanfaatkan melainkan dijadikan lahan tidur.

Publik berharap, pemerintahan daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat menjembatani persoalan ini dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini BPN dan Bandara, termasuk pemerintahan daerah Kabupaten Konawe Selatan. Verifikasi mendalam melalui identifikasi dan inventarisasi, sehingga dapat diketahui kebutuhan lahan untuk pangkalan udara berapa, untuk bandara berapa, dan kebutuhan urgensinya lainnya, sehingga sisanya bisa dihibahkan kepada warga untuk dikelola sebesar-besar kemakmuran rakyat. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline