Lihat ke Halaman Asli

Hak Angket CPNSD, Mungkinkah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Satu dua hari ini media lokal kita dihiasi dengan isu hak angket CPNSD. Ramai-ramai anggota DPRD Sultra dan DPRD Kota Kendari mencoba menggulirkannya dan berharap segera diparipurnakan.

Sebelum kita merajut harapan yang berlebihan, ada baiknya menilik ke belakang pengalaman penggunaan hak angket DPR RI, karena ditingkat lokal (Sultra) belum pernah terjadi.

Sejarah mencatat, ditingkat nasional isu hak angket paling kurang ada tujuh kali digaungkan oleh DPR masa jabatan 2004 – 2009, mulai soal kenaikan BBM, penjualan tanker Pertamina, impor beras, pengelolaan Blok Cepu, BLBI, hingga transparansi pengelolaan migas oleh Pertamina. Bahkan sebelum demisioner pun DPR sempat menggulirkan hak angket terkait kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu 2009. Terakhir, DPR periode baru menggulirkan hak angket century yang seakan mewabah ke Sulawesi Tenggara.

Dari ketujuh isu itu, hanya tiga yang disetujui DPR (kasus penjualan tanker Pertamina, pengelolaan migas, dan kisruh DPT) namun tak satupun yang mampu memuaskan berbagai pertanyaan publik sejalan dengan motivasi awal pengusulan hak angket. Apakah hal yang sama akan terjadi di daerah kita? Tentu kita tidak ingin anggota dewan kita bermain-main dengan wacana (politik). Mengangkat isu, tidak diperjuangkan karena sudah paham penggunaannya tidak semulus jalan tol dan secara sadar sudah mengetahui hasilnya tidak akan ada.

UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang telah dijabarkan dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Sultra mengatakan bahwahak angket adalah hak yang dimiliki DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang di duga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dikatakan juga, hak angket diusulkan oleh paling sedikit sepuluh orang anggota DPRD dan lebih dari satu fraksi. Sebelum diputuskan menjadi hak DPRD, fraksi-fraksi dewan harus menyampaikan pemandangan umumnya dalam rapat paripurna. Dan selanjutnya fraksi pengusul memberikan jawaban atas pemandangan umum itu. Tentunya untuk memberikan jawabannya, pihak pengusul setidaknya harus memiliki dokumen yang memuat materi kebijakan dari pelaksanaan seleksi CPNSD 2009 yang diduga menyalahi peraturan perundang-undangan dan alasan penyelidikan sebagai bahan.

Dalam pemahaman teoritis, asal muasal hak angket digunakan untuk menyelidiki sesuatu yang lazimnya terkait dengan masalah keuangan yang menjadi kebijakan pemerintah. Namun, jika merujuk pada peraturan perundang-undangan, rumusannya memang sangat luas, karena setiap gerak langkah dan keputusan yang diambil pada dasarnya dapat dikatakan sebagai kebijakan. Jadi tidak spesifik terkait dengan masalah keuangan negara saja.

Dengan demikian, kebijakan pemerintah daerah mengumumkan hasil seleksi CPNSD 2009 dapatkah dijadikan objek dari hak angket karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan daerah? Apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana defenisi hak angket?

Kalau pun diparipurnakan, jangan sampai hanya waktu dan energi yang terbuang mubazir. Dan yang terpenting, penggunaan uang rakyat untuk membiayai kebutuhan paripurna dan rapat-rapat panitia angket kelak bekerja, bisa jadi sia-sia. Orang awam pun tahu, pembuktian dugaan pelanggaran atas seleksi CPNSD kecil peluang untuk diperoleh fakta kebenarannya apalagi melalui pengadilan politik (hak angket). Mekanisme seleksi telah dilakukan sesuai prosedur. Hanya memang ada persoalan ijab kabul rupiah yang meresahkan masyarakat. Namun lagi-lagi, secara hukum pun fakta, materi ini sulit dibuktikan, bak angin terdengar hembusannya tapi tidak bisa dipegang. Tidak ada hitam diatas putih, tidak ada saksi, dan pihak-pihak yang terlibat pun tidak akan membuka mulut, karena mereka bersimbiosis mutualisme.

Dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPRD Sultra dengan eksekutif (Senin, 4/01), pihak pemerintah daerah sudah cukup gamblang memaparkan secara lisan maupun melalui slide skoring dan rangking bahkan memberikan hard copy-nya kepada Komisi I terkait hasil pemeriksaan lembar jawaban. Lantas, kejanggalan apalagi yang harus diselidiki?

Hal yang patut diingat, DPRD bukan DPR. DPR boleh saja menggulirkan hak angket, namun DPRD dampaknya bisa fatal sekali. DPR lembaga negara yang bukan penyelenggara pemerintahan. Sementara DPRD bersama-sama dengan pemerintah daerah merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Mereka adalah mitra sejajar yang harus saling mendukung, saling memberikan masukan untuk perbaikan, bukan mencari-cari kesalahan apalagi untuk kepentingan politik. Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah keberhasilan pemerintah daerah dan DPRD, demikian pula sebaliknya. Untuk itu, keduanya perlu menjaga harmonisasi agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan kondusif. (***)

Dimuat Kendari Pos, Kamis, 7 Januari 2010

Tambahan informasi : Dua kali (22 Januari dan 9 Maret) diagendakan untuk di paripurnakan, dua kali juga gagal karena tidak korum. Entah apa penyebanya. Yang pasti beberapa anggota dewan memilih mengikuti kunjungan kerja, bintek, konsultasi, dlsbnya sehingga tidak bisa menghadiri paripurna hak angket.





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline