Media Sosial menjadi hal yang sangat lekat dalam keseharian masyarakat saat ini. Berbagai macam aktifitas dunia nyata sudah mulai dialihkan hampir seluruhnya kedunia maya. Media sosial memang dapat mempermudah akses dalam kehidupan keseharia, seperti berkomunikasi, membaca berita terbaru, mendapatkan atau membagikan informasi, atau untuk sekedar menunjukan eksistensi diri. Masifnya penggunaan berbagai platform media sosial seperti tiktok, Instagram, twitter, atau youtube, tidak hanya terjadi di kalangan remaja melainkan usia dewasa dan tua. Berselancar di media sosial dapat menyebabkan efek candu yang sangat besar dalam diri masing-masing penggunanya. Efek candu terhadap media sosial rupanya menjadi keuntungan bagi pemilik perusahaan-perusahaan digital yang saat ini menjamur, para konten creator, atau para pembisnis digital yang memanfaatkan pasar online. Perkembangan media sosial memang dapat memberikan keuntungan dan mempermudah akses diberbagai aspek kehidupan. Pandangan ini memang bukanlah suatu hal yang keliru bagi sebagian orang yang merasakan keuntungan dari masifnya penggunaan media sosial. Perkembangan media sosial sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan internet merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi sebagai bentuk bagaimana dunia terus mengalami perubahan.
Pada Februari 2011 para aktivis internet mengamati bagaimana fenomena media sosial menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharian. Eli Pariser, salah satu aktivis dan penggiat internet dalam pemaparannya di TED Talk, salah satu organisasi media Amerika-Kanada bersifat non-profit, untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah filter bubble. Eli Pariser memaknai filter bubble sebagai suatu yang menggambarkan lekatnya hubungan manusia dan media sosial mereka. Dibalik segudang kemudahan yang ditawarkan, alogaritma yang bekerja dalam media sosial sebenarnya membuat masyarakat terjebak dalam gelembung filter yang mengisolasi diri dari dunia yang lebih luas. Algoritma media sosial bekerja dengan melacak apa yang menjadi ketertarikan kita, sehingga informasi yang ditampilkan di media sosial kita hanyalah informasi yang algoritma pikir kita sukai dan minati. Hal ini membuat kita terjebak dalam cara pandang dunia yang sempit yang digambarkan seperti gelembung. Para aktivis internet juga mengecam pemilik perusahaan media sosial untuk memperbaiki cara kerja alogaritma yang saat ini ada. Aktivis internet berendapat bahwa dunia yang dibangun dari satu kesamaan tidak akan membuat kita belajar tentang apapun.
/The Social Dilema_, merupakan sebuah film dokumenter yang tayang di Netflix pada September 2020. Film yang disutradarai oleh Jeff Orlowski membahas mengenai betapa bahaya dan mengerikanya aktivitas kita di media sosial. Narasumber yang dihadirkan dalam film dokumenter tersebut merupakan orang-orang yang sangat dekat dengan media sosial dan system kerja didalamnya. Salah satunya mantan ahli etika desain dari google, Tristan Harris yang memberikan gambaran bagaimana industri media sosial yang nampaknya berhasil tidak hanya secara diam-diam memanipulasi kesadaran para pengguna media sosial tapi juga diarahkan untuk mengguncang tatanan dunia yang ada saat ini. Dalam film dokumenter terdapat suatu pernyataan yang membuat kita berfikir kembali tentang apa yang kita lakukan di media sosial, yaitu " If you are not paying for the product then you are the product". Sadar atau tidak sebenarnya aktivitas kita di media sosial merupakan suatu barang dagang. Pengguna media sosial sebenarnya sedang ditambang untuk mendapatkan data melalui aktivitasnya di media sosial, perilaku kita dimanipulasi melalui Artificial Intelegen Predictif yang akhirnya membuat kita mengklik suatu objek interest, kemudian memanen data kita dan menjualnya kepada penawar tertinggi, dalam hal ini termasuk jenis ilkan yang akan muncul di media sosial kita.
Perbedaan sudut pandang yang menyebabkan selisih pertentangan antara mereka yang merasakan dampak positif dari media sosial dan yang sepakat bahwa media sosial menawarkan keuntungan dan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, menggambarkan suatu ideologi yang mendukung perkembangan dan masifnya penggunaan media sosial. Sedangkan apa yang disampaikan oleh para aktivis internet merupakan suatu utopia dari tujuan yang akan dicapai dengan adanya perkembangan media sosial. Karena bagaimanapun media sosial sudah sangat lekat dengan kehiduan dan keseharian kita saat ini, maka akan sulit untuk memisahkan aktivitas keseharian kita dengan media sosial.
Melihat contoh kasus yang sudah dipaparkan dalam paragraf-paragraf sebelumnya, mari kita lenih mengenal magnum opus dari the father of sociology of knowledge, Prof. Karl Mannheim dalam bukunya Ideologi and Utopia : An Intodaction Of The Sociology of Knowledge (1929/1936). Alasan Karl Mannheim mensejajarkan antara Ideologi dan Utopia adalah karena kedua hal tersebut dapat dianalogikan seperti dua sisi mata uang. Ketika kita berbicara mengenai ideologi yang tentunya berkaitan dengan keyakinan suatu kelompok. Maka akan selalu ada pandangan yang berusaha melemahkan keyakinan tersebut.
Dalam bukunya, Karl Mannheim, menyebutkan bahwa pengertian dari ideologi dalam arti partikular merupakan konsep ideologi yang nampak apabila istilah terebut menunjukan bahwa kita sangsi akan gagasan-gagasan atau penjelasan-penjelasan yang dimajukan oleh lawan kita. Gagasan-gagasan tersebut kurang lebih dianggap sebagai penyembunyian hakikat kenyataan yang sesungguhnya, sedang pengetahuan tentang kenyataan itu sendiri dianggap tidak sesuai dengan kepentingan-kepentingan lawan. (Karl Mannheim 59)
Sedangkan dalan pembahasan selanjutnya, Karl Mannheim menyebutkan bahwa suatu keadaan pikiran bersifat utopis bilamana tidak sesuai dengan kenyataan tempat berlangsungnya pikiran tersebut. Ketidak sesuaian ini senantiasa terbukti jelas dalam fakta bahwa keadaan pikiran semacam itu dalam pengalaman, pemikiran dan dalam prakterk berorientasi kearah objek-objek yang tidak ada di dalam situasi aktual. Tetapi bukan berarti utopis merupakan setiap keadaan pikiran yang tidak sesuai dengan situasi langsung dan melampauinya. Hanya orientasi -- orientasi yang melampaui kenyataan itulah yang akan kita acu sebagai utopis, yang bila orientasi -- orientasi itu kita terjemahkan kedalam tingkah laku, cenderung memecah belah tatanan kenyataan.
Dalam membatasi pengertian istilah utopis pada jenis orientasi yang melampaui kenyataan dan sekaligus memecah belah batas-batas tatanan yang ada, suatu distingsi antara keadaan pikiran yang utopis dan yang ideologis perlu ditetapkan. Singkatnya dapat dipahami bahwa Ideologi adalah perangkat keyakinan dan metode untuk mencapai sebuah tujuan. Sementara Utopia adalah sebuah negasi dari keyakinan-keyakinan yang dibangun dari sistem ideologi. (Karl Mannheim 209)
Untuk memahami bagaimana cara pikir Karl Mannheim dengan lebih jauh kita juga perlu mengetahui latar belakang dari Karl Mannheim. Karl Mannheim lahir di Budaest, Hungaria pada 27 Maret 1893. Tahun 1920 menjadi tahun awal ketertarikan Karl Mannheim terhadap Sosiologi. Karl Mannheim mendapatkan gelar Profesornya di Universitas Frankfrut serta Profesor Pendidikan dan Sosiologi di Universitas London. Karir akademisnya berkembang di Jerman dan Inggris. Pada awal karirnya Karl Mannheim merupakan seorang filsuf yang mempelajari bidang Epistimologi. Pada tahun 1925 Karl Mannheim sempat menjadi dosen di Universitas Heidelberg, sebelum diasingkan Nazi ke Inggris, beliau juga mengajar di Universitas Frangfrut. Tokoh-tokoh Sosiologi seperti Max Weber, Alfred Weber, Albert Scheler, Karl Marx dan Filsuf Hegel memberikan pengaruh yang besar terhada pemikiran Karl Mannheim. Melalui pengaruh dari tokoh-tokoh tersebut muncul suatu ide yang kemudian menjadi karya besarnya yaitu Ideologi and Utopia. Karya lain Karl Mannheim diantaranya Man and society in an age of reconstruction (1940) dan Diagnosis of our time (1943).
Georg Wilhelm Friedrich Hegel dalam bukunya Phenomenology of Spirit and Encyclopaedia of Philosophical Sciences yang membahas tentang bagaimana cara pandang sejarah terhadap kesadaran manusia, mempengaruhi cara pandang teori Ideologi Karl Mannheim. Karl Mannheim memperluas cara pandang sejarah Hegel kedalam cara pandang relativist yang melihat bahwa pemikiran manusia sebagai satu-satunya pemikiran yang benar berdasarkan situasi dan kondisi. Dalam tulisan Hegel yang lain Philosophy of Right yang menyatakan bahwa individu merupakan anak dari zamannya dan manusia tidak dapat melompat di luar waktu yang sedang dilaluinya, hampir sama dengan apa yang disampaikan Karl Mannheim tentang konsep ideologinya. Karl Mannheim mengungkapkan bahwa pada setiap tahapan sejarah manusia selalu terdapat ide-ide representatif, yaitu ide-ide yang memperlihatkan iklim sosial yang sedang berlaku dan setiap individu terikat pada situasi dan kondisi lingkungannya dan tidak dapat menghindarinya.