Indonesia sebagai negara dibangun di atas fondasi prmusyawaratan telah menjadi batu penjuru bagi keberlangsungan hajat hidup segenap rakyat Indonesia, hal ini merupakan produk revolusi Indonesia menuju kemerdekaan, bukan saja dengan perjuangan tumpah darah anak bangsa, kemrdekaan yang didapat hari ini merupakan hasil kesepakatan para wakil-wakil golongan marxis, islamis dan nasionalis.
Menurut Soekarno Indonesia didirikan Bersama "semua buat semua" bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan di mana untuk mencapai suatu negara yang berdemokrasi hendaknya bukanlah demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup (Soekarno, 1 Juni 1945). Menurutnya Negara Indonesia bukanlah negara untuk satu orang, bukan pula negara untuk satu golongan tetapi "satu buat semua, semua buat satu", oleh karena penting baginya menjadikan satu butir atau pilar dalam Pancasila.
Demokrasi sebagai hasil produk barat diadopsi oleh para tokoh-tokoh bangsa dengan cara yang lebih menyentuh esensi dari latar belakang kebangsaan Indonesia. Berdasarkan ini para peletak dasar negara Indonesia telah mewarikan kepada penerusnya nasionalisme egaliter yakni nasionalisme yang lebih kebangsaan dan kerakyatan dibandingkan nasionalisme hirarkis yang ciri-ciri etnis dan elitis.
Soekarno dan para tokoh bangsa lain menemukan dasar membangun kehidupan bangsa yang lebih egaliter melalui kesepakatan bersama "satu buat semua, semua buat satu" Unus pro omnibus, Omnes pro uno dengan menghindari cita rasa nasionalisme yang mengangkat keunggulan salah satu etnis maupun elitis. Hal ini menjadi titik kesuksesan rakyat Indonesia dalam bernegara yang tak dimiliki oleh negara lain dalam memupuk nasionalisme dan merawat iklim demokrasi.
Akar Historis Demokrasi
Peran penting Soekarno pada masa revolusi kemerdekaan tak dapat kita pungkiri, sebagai seorang orator karismatik, Soekarno berhasil mengangkat moral bangsa dan memeprsatukan kelompok-kelompok berbeda Haluan untuk menyatukan mereka pada tujuan bersama yakni kemerdekaan serta hidup bernegara, menyeimbangkan antar kepentingan kelompok dan mengakomudir persamaan hak sebagai warga negara dalam bingkai negara kesatuan.
Menurut pandangan saya, sebagai pemimpin cerdas Soekarno berhasil menerjemahkan serta meracik sariparih pemikiran para pendahulunya dalam bingkai Pancasila, salah satu pemikiran penting yang berhasil diterjemahkan Soekarno dalam butir keempat Pancasila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan adalah hasil refleksi M. Hatta tentang demokrasi, dalam pandangannya terdapat tiga pokok penting yang perlu dirawat dalam kehidupan bernegara pertama demokrasi desa yang diwarisi budaya lokal asli Indonesia yakni tradisi kolektifisme dari permusyawaratan desa berdasrakan pemahaman Hatta tentang kehidupan bermasyarakat di alam Minangkabau. Kerajaan pra-Indonesia telah mempraktikan nilai-nilai demokrasi ditaraf tertentu pada budaya Nusantara seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat serta unit politik kecil yang bersifat lokal.
Kedua ajaran islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi yakni mengaitkan kebiasaan lokal berdasarkan ajaran inti dari teologis Islam yang melihat manusia sebagai puncak ciptaan dan mukjizat Tuhan yang paling agung dan terhormat. Ketiga paham sosialis Barat yang menurut Hatta sangat berpengaruh pada alam pemikiran kaum pergerakan kebangsaan karena dasar perikemanusiaan yang dibelahnya dan menjadi tujuannya (Hatta, 1992; 121).
Kehadiaran Eropa di Indonesia membawa dua peradaban Eropa yakni represi imperialis dan sisi humanisme-demokrasi. Imperialisme mengerahkan segala sumber daya untuk menindas secara politik maupun secara ekonomi, tak jarang kaum imperialisme dan kapitalisme berkerja sama dengan para kaum feodal bumiputra yang kemudian menumbuhkan sikap anti penindasan dan anti feodalisme dikalangan masyarakat dan para perintis perjuangan bangsa.
Selain represi politik dan ekonomi, secara bersamaan peradaban Eropa membawa gagasan-gagasan humanis-demokratis Eropa sebagai akibat dari gelombang pergerakan liberal dan revolusi demokratik di daratan Eropa (Stromberg, 1968: 72-78). Kaum bumiputra mulai menghayati nilai-nilai humanisme-demokrasi secara bertahap mendapatkan kesempatan mengaktualisasikan melaui kemunculan ruang publik modern pada akhir abad ke 19 di Indonesia.