Lihat ke Halaman Asli

Kapal Ratu

Diperbarui: 20 Februari 2023   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Hidup Katolik.com

Sudah sebulan setelah kesepakatan dalam perjalanan pulang ke Maan, kini tiba harinya bagi Lando dan Even mulai menguatkan motivasi untuk satu kehidupan baru jauh dari tanah kelahiran, tak ada lagi kabut pagi turun senyap dari bukit fafinesu ke kampung mereka pada fajar, tak akan ada lagi pagi yang sibuk di dapur saat mama menjerang air, menyediakan rebusan pisang untuk bekal pagi ke sekolah adik. Mereka berdua harus bersiap untuk menghirup udara polusi udara di kota pada pagi hari dalam bedeng-bedeng sempit tempat mereka beristirahat, akan selalu terdengar disetiap pagi suara lambung merontah -- menendang dinding perut untuk segera di isi, akan ada disepanjang tahun mereka harus berjuang menyediakan makan dan berusaha bertahan hidup di pulau nan jauh dari kampung mereka, dan tentunya mereka harus mulai terbiasa tanpa Naris hadir pada setiap momen keseruan dan saat belajar bersama. Ini jadi momen kehilangan satu sama lain.

Di kampung kami, jalan tanah sudah ada sejak jaman Belanda namun untuk mencapai wilayah kami bukanlah hal mudah; hanya kuda saja menjadi alat transportasi bagi warga yang hendak mengunjungi kampung. Kami lebih memilih berjalan kaki untuk mencapai jalan trans Timor kurang lebih sepuluh pal[1] atau setengah hari perjalan untuk mencapi gudang ongko Ming di tepi jalan utama menuju ke Kefa atau ke Atambua. Pagi itu Naris memutuskan ikut mengantar Even dan Lando ke jalan besar, cukup banyak rombongan pengiring kedua anak itu oleh sebab ini jadi kejadian pertama di kampung mereka, ada anak muda hendak pergi berkuliah di Jawa. Sebagian keluarga Lando dan Even ikut mengantar, sementara Naris membantu mebawakan bekal rombongan, karena pada hari ini mereka akan menginap pada selasar rumah ongko Ming mengingat jalan utama juga sama senyapnya seperti jalan di kampung-kampung, sangat jarang truk atau transportasi umum melintas pada jalan itu. 

Senja dan ongko Ming menyambut rombongan kami pada selasar rumah dengan keramahan orang shinke pada umumnya; sudah menjadi kebiasaan baginya menyambut masyarakat dari dari perbukitan yang hendak bepergian jauh pada  selasar rumah dan menyediakan tempat sebisanya bagi warga untuk bermalam pada rumah tepi jalan itu. Sembari berdiri memunggungi senja shinke itu  menyapa "mau pigi mana ini usi?" Usi Ludo (ayah Even) menjawab "kami mau pigi antar anak di Atapupu" sementara rombongan lainnya berdiri dibelakang usi Ludo sambil mengapurancang tanda kesopanan kepada tuan rumah atau orang yang memiliki posisi terhormat dalam keluarga atau masyarakat.

Rumah Ongko Ming tak pernah sepi setahu kami, selalu ada masyarakat datang untuk menjual hasil alam atau sekedar untuk menginap pada selasar rumahnya sembari menunggu kendaraan yang dapat tumpangi ke daerah tujuan mereka. Malam itu sukacita hinggap pada selasar rumah Ongko Ming, beberapa kerabat membuat api untuk menyiapkan makan malam berupa  pisang dan ubi rebus yang dibawa siang tadi dari kampung sebagai bekal makan malam. Sementara kami berdiang api, Ongko Ming kembali bergabung bersama "mau pigi naik kapalkah?" ia memulai pembicaraan, "ya, Lando dan Even mau naik Jung[2] Ratu" usi Ludo memberi jawab. "itu Jung baru, sa dengar dari peter Van Rotter katanya Jung itu buatan Jerman dan besar pula" Ongko Ming memberi keterangan tambahan. Mendengar berita itu para rombongan pengantar terkesima tanpa bisa membayangkan bagaimana rupa jung Ratu karena jangankan kapal bermesin disel, rupa televisi saja hampir sebagian dari mereka yang sedang berdiang api belum juga bisa menengoknya. Selanjutnya pembicaran mereka mulai kembali ke keseharian, bicara soal asam dan hasil kebun serta harga sapi jantan, hal ini penting bagi mereka ketahui sendiri dari mulut Ongko Ming berhubung cuma dialah satu-satunya pengepul hasil di kecamtan kami. Pada ujung pembicaraan si shinke pamit undur diri berhubung malam sudah jatuh jauh dari larut.

Pagi belum juga nampak ketika naif Martin tergesa-gesa membangunkan rombongan pengantar, pada pagi yang masih remang tampak dari ujung jalan hampir tak kelihatan sebersit cahaya nampak, seperti kunang-kunang namun lebih terang. Cahaya yang tampak disusul kemudian deruh mesin seperti bunyi kedaraan beroda empat, kami bergegas dan nampaknya Ongko Ming pun keluar dari rumah, rupanya ia tak dapat tidur nyenyak karena ikut berjaga bersama kami menunggu kendaraan melintas depan rumah. Kami bersiap pada bibir jalan lapen untuk mencegat kendaraan dengan deruh mesin bising yang dapat membangunkan warga ketika melintas. "itu trek (truk)" kata naif Martin, harapan legah pun terbit pada kami, segera usi Ludo pamit pada Ongko Ming sementara si shinke sibuk memberi salam dan pesan kepada Lando serta Even, dua orang yang sedang berbahagia karena akan segera meniggalkan pulau terpencil, udik dan terlupakan pada republik baru ini.

Segera trek itu ditahan naif Martin dan robongan lainnya, lalu pergilah dia pada sisi pintu sebelah kanan dan berbicara pada sopir trek untuk meminta tumpangan, dibalik remang pagi suara naif Martin terdengar "trek hanya sampai Tenukiik (nama tempat di kota Atambua)" usi Ludo menyaut "neu tidak apa-apa, nanti kita lanjut jalan kaki ke Ainiba". Perjalanan dari Atambua ke Ainiba lumayan jauh, lebih dari limabelas pal jaraknya, itu pun belum juga sampai pada Pelabuhan Atapupu namun setidaknya sudah lebih dekat untuk ditempuh dengan jalan kaki ke Pelabuhan.

 

Keterangan: 

1. Pal (Belanda: paal) ukuran jarak, 1506 meter

2. Jung : Kapal




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline