Dibalik keterbatasan penduduk Nusa Tenggara Timur mengejar pendidikan dan bersaing mengembangkan sektor ekonomi yang berdikari, masyarakat NTT sebenarnya telah dikaruniai sekian banyak potensi alam mulai dari bentang alam pulau Flores dengan potensi pertanian, perikanan dan eko wisata yang belum dikelola secara bijak; Pulau Timor termasyur lewat harumnya cendana hingga mengundang para pedagang datang menjarah habis sebelum masyarakatnya sendiri menyadari akan berharganya tanaman yang tumbuh liar sepanjang daratan Timor; wilayah Sumba terkenal dengan luasnya padang savana dengan potensi pengembangan peternakan dan pertanian serta ekosistem budaya dan wisata alam serta pantai yang menakjubkan; belum lagi wisata bahari pada pulau-pulau kecil diwilayah Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar masih dikuasai serta dikelola perorangan dan belum berdampak pada ekonomi kerakyatan.
Selain potensi alam, masyarakat Nusa Tenggara Timur memiliki beragam warisan budaya dan produk intelektual, setiap kabupaten di Nusa Tenggara Timur memiliki perbedaan budaya seperti bahasa, alat musik maupun pakaian adat.
Perbedaan karakter sosial masyarakat berdasarkan topografi alam menjadikan Kawasan tenggara Indonesia ini tetap lestari dengan produk intelektual lokal yang perlu mendapat dukungan pemerintah dalam usaha meningkatkan pola kreatifitas dan produksi lokal, sehingga membantu pertumbuhan ekonomi keluarga dan masyarakat dengan cara memperkenalkan dan memasarkan, juga pelatihan dan pemberdayaan masyarakat wilayah tapak.
Tradisi tenun pada masyarakat NTT bersifat partikular, berbeda antar daerah dikarenakan tradisi tenun sangat berkaitan dengan pengetahuan lokal, kepercayaan, sosial-budaya serta lingkungan alam masyarakat oleh sebab itu seni tenun pada setiap masyarakat NTT memiliki bentuk dan teknik yang berbeda, seperti pada masyarakat daratan Flores yang memiliki dua teknik tenun yakni jenis tenun ikat tradisional yang menyebar dari wilayah Ende hingga ke wilayah Lembata dan sebagian pulau Sumba, sementara teknik tenun sulam songket banyak dijumpai pada masyarakat Nagekeo hingga Manggarai Barat.
Tradisi tenun sendiri telah digeluti oleh kaum perempuan diwilayah Mesopotamia, Mesir, India dan Turki jejak ini dapat ditemukan pada jalur sutra yang digunakan oleh masyarakat eurasia pada masa lampu untuk kegian kelompok nomaden, pedagang, para biarawan serta menjadi jalur untuk menginvasi suatu wilayah.
Tradisi dan teknik menenun komunitas perempuan di wilayah ini telah melintasi kota dan pelosok, menjadikan kegiatan menenun sebagai identitas perempuan pada masanya yang konon dianggap sebagai salah satu kesiapan seorang perempuan menjadi dewasa dalam mengambil keputusan oleh sebab menenun memiliki makna filosofi mendalam, perempuan penenun adalah mereka yang memberikan perhatian terhadap ketelitian, menghargai proses serta menjiwai setiap pekerjaan dan kehidupannya.
Tradisi kelompok penenun telah melewati rentang waktu melintasi jalur sutra hingga tiba di wilayah tenggara Nusantara, hingga saat ini perempuan adat di pulau Sumba tetap menjalankan kegiatan menenun sebagai bagian aktifitas rumah tangga, bagi masyarakat adat kain tenun merupakan bagian penting yang tak dapat dipisahkan pada kegiatan serimonial adat setempat seperti acara adat peminangan dan serimonial kematian masyarakat di Sumba.
Perempuan adat penenun kain Sumba adalah kelompok pendukung aliran romantisisme namun bedayanya para perempuan penenun ini melukiskan masa lalu pada motif-motif kain tenunan tangan mereka, hasil sebuah proses kreatif pemikiran kelompok perempuan penenun Sumba yang berlangsung ratusan tahun untuk mengembangkan motif, menemukan teknik pewarnaan serta menurunkan hasil proses intelektual kepada generasi berikutnya.
Bagi perempuan adat Sumba saat ini, menenun bukan semata-mata mendukung perekonomian rumah tangga tetapi juga merawat nilai-nilai pelestarian budaya dan sejarah masyarkat Sumba.
Danga Mbandar, perempuan adat penenun kain Sumba asal kota Waingapu masih tetap aktif menenun pada selah waktu rutinitasnya sebagai salah satu staf diinstansi pemerintahan beberapa waktu silam, ia berkisah kepada saya terkait kain hasil tenunannya. Perempuan Sumba membuat motif berdasarkan apa yang mereka lihat dilingkungan sekitarnya, ada karakter kuda, buaya, singa sampai dengan naga.