Kira-kira sepuluh tahun terakhir setelah media sosial menjadi bagian tak terpisahkan bagi setiap penduduk bumi di manapun berada layaknya KTP versi digital, dunia kita tak lagi asing untuk dilihat dan dinikmati, setiap individu dapat dengan mudah mengetahui infromasi dan menjelajah kota dari kamar tidur mereka melalui layar telpon pintar, semuanya tampak muda saat ini.
Setiap individu mulai menyesuaikan dan berusaha membuka diri terhadap arus perubahan sosial budaya di lingkungan sekitarnya. Kencangnya arus perubahan informasi ini telah membuka ruang bagi setiap orang datang menikmati keindahan alam Sumba yang polos.
Keasrian Sumba saat ini memang layak dinikmati oleh siapa saja penikmat alam dan sosial budaya, Sumba dan penduduknya adalah sesuatu yang tak terbantahkan akan kuatnya memeluk adat istiadat serta budaya meskipun dikepung arus budaya yang masuk dan berasimilasi di tengah masyarakat.
Bagi pencinta petualangan dan hobi traveling sudah pasti tahu Sumba, pulau yang berada di tenggara Indonesia; pulau yang langsung menantang Samudra Hindia di sisi selatannya.
Bagi para pembaca minim informasi soal Pulau Sumba, sekadar informasi Pulau Sumba adalah satu dari tiga pulau besar di wilayah kepualuan provinsi Nusa Tenggara Timur dengan kuda sandalwood sebagai ikon Sumba dan telah dikenal masyarakat luar negeri sebelum masyarakat Indonesia sendiri mengenalnya.
Nusa Tenggara Timur bukan semata-mata Labuan Bajo tetapi ada Sumba, pulau kediaman para leluhur yang dari timur hingga ke barat merupakan potongan-potongan surga yang sengaja ditinggalkan Tuhan untuk para leluhur. Pulau Sumba dalam satu dekade terakhir telah berbenah membuka pintu gerbang kedatangan bagi setiap pelancong domestik yang hendak menikmati alam dan budaya masyarakat lokal dengan keramahan khas Sumba.
Hal mencolok ketika berada di Pulau Sumba, kita dengan mudah akan menjumpai lingkungan kampung adat yang berada pada puncak bukit di sekitaran kota, dengan rumah-rumah terbuat dari kayu-kayu pilihan yang dibawah dari hutan ulayat serta beratapkan lalang pada bubungan rumahnya.
Masyarakat setempat menyebut lingkungan perumahan ini sebagai Prai atau Praing yang berarti kampung, sementara di dalam Prai terdapat lebih dari dua rumah adat yang dibangun berjejer rapi berbentuk formasi U
Rumah adat orang Sumba di dalam Prai disebut sebagai Uma Kalada atau rumah besar, rumah suku tempat asal muasal setiap suku atau keluarga besar, rumah pertama yang dibangun oleh para pendahulu atau leluhur dari suku atau keluarga.
Uma Kalada saat ini dihuni atau dijaga oleh keluarga inti secara turun temurun. Secara akar kata penggunaan kata Uma lazim digunakan oleh masyarakat proto melayu untuk penyebutan pada hunian atau rumah besar, tempat tinggal satu keluarga besar.
Penggunaan kata uma pada perkembangannya tetap digunakan kelompok proto melayu yang menyebrang ke wilayah sunda kecil termaksud wilayah Nusa Tenggara Timur.