Disusun Oleh :
1. Ade Shafira,S.H. (247005001)
2. Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum.
3. Dr. Affila, S.H., M.Hum.
Hutan di Papua merupakan hutan hujan tropis. Bagi masyarakat Papua, hutan adalah ibu yang harus dibakti sekaligus warisan leluhur yang harus dijaga. Sebagai ibu dan warisan leluhur, hutan tidak hanya harus dijaga dan dipertahankan sebagai sumber-sumber penghidupan. Lebih dari itu, dalam pengetahuan lokal masyarakat adat Papua, hutan merupakan ekosistem kehidupan yang mencirikan kebudayaan bangsa. Hutan Papua memiliki biodiversitas yang tinggi, termasuk habitat bagi spesies-spesies fauna khas Australia seperti mamalia berkantung dan beberapa jenis burung. Hutan Papua juga memiliki peran penting dalam mencegah perubahan iklim di Indonesia.
Menurut data Global Forest Watch dalam satu dekade hutan di Papua telah mengalami kerusakan yang sangat parah . Menurut WALHI sebanyak 112.000 Ha hutan di Papua telah dirusak . Kerusakan tersebut disebabkan pemberian izin investasi oleh pemerintah untuk Pembukaan Lahan Sawit, Hutan Tanam Industri (HTI), Proyek Lumbung Pangan, serta Kegiatan Pertambangan. Bagi masyarakat adat Papua, izin dianggap bentuk dari penegasian dan penyingkiran hak atas hidup. Bahkan berkonsekuensi pada banyak hal seperti ketimpangan, kekerasan, konflik, kriminalisasi hingga sigmatisasi. Apalagi, proses perizinan diakui umumnya tanpa ada konsultasi memadai dan transpaan terhadap masyarakat adat di Papua.
Program pemerintah tentang 'ketahanan pangan' dengan membuat Rencana lahan pangan terintegrasi atau food estate dapat mengancam keanekaragaman hayati dan mengancam kehidupan masyarakat Papua. Rencana food estate tersebut mengubah hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen. Jadi, secara tidak langsung, deforestasi mengubah fungsi yang awalnya untuk pelestarian lingkungan dan ekosistem hutan jadi aktivitas lain terutama untuk perkebunan dan pertambangan.
Pemerintah dan perusahaan Jhonlin Group beserta 10 perusahaan perkebunan tebu dan bioetanol yang menjalankan PSN food Estate telah merusak 10 ribu hektare hutan, savana, dan lahan gambut di Merauke. Masyarakat semakin khawatir karena pemerintah berencana meluaskan proyek food Estate Merauke hingga 2 juta hektare. Lahan yang rusak tersebut merupakan tempat sumber mata pencaharian, sumber pangan, sekaligus tempat sakral bagi masyarakat setempat.
Akibat rancangan program pemerintah tentang ketahanan pangan melalui program Food Estate membuat banyaknya pohon di hutan Papua ditebang, sejumlah alat berat telah dikekerahkan untuk menebang pohon-pohon yang ada di hutan demi membuka sejumlah lahan untuk perkebunan dan lahan pertambangan. Hal ini berdampak pada kerusakan lingkungan yang dan membuat menculnya zat emisi-emisi CO2 . Kerusakan hutan yang dilakukan tersebut sangat bertentangan dengan Upaya Pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
Deforestasi di Papua dapat memicu konflik dan pelanggaran HAM. Pelanggaran Ham yang dimaksud adalah Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat , sehingga hal ini melangagar dengan konsep HAM yang tertuang didalam Pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang 1945 , selain itu juga melanggar hak masyarakat adat, hak petani, hak atas kebebasan berekspresi, serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Untuk mengatasi problem-problem di tanah Papua yang semakin terancamnya hutan dan masyarakat adat Papua. Pemerintah harus membuat sebuah kebijakan dan regulasi yang berbasis pada kondisi faktual. Kemudian, dalam perspektif sensitif ekologi dan perubahan iklim, perlu adanya kebijakan dan regulasi yang nantinya melihat aspek perlindungan, rehabilitasi dan memperhitungkan potensi yang akan hilang serta dampaknya bagi keberlanjutannya di sekitar hutan dan dalam hutan, serta kawasan pesisir pulau kecil disekitar Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H