“Talas beneng kaya karbohidrat bisa langsung dimakan dengan cara direbus atau digoreng,” ~ Ketua KWT Sinar Makmur Kabupaten Pandeglang Ida Farida
Dalam sebuah diskusi di forum rapat organisasi perangkat daerah (OPD) Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Pandeglang yang saya ikuti belum lama ini, ada salah seorang peserta yang mengingatkan tentang pentingnya upaya pengembangan pangan lokal dalam penyediaan pangan bagi masyarakat.
Dia bahkan mempertanyakan snack dus rapat yang dulu sempat diganti dengan pangan lokal seperti umbi-umbian rebus, kacang rebus, atau jagung rebus, sekarang sudah tidak dilakukan lagi.
Diskusi menjadi menarik lantaran nara sumber saat itu sedang fokus membahas bagaimana meningkatkan produksi dan produktivitas lahan padi, di mana saat ini daerahnya sebagai kontributor utama pemasok hasil pangan nasional, khususnya beras.
Sebagai salah satu lumbung padi di provinsi dan nasional, tak ada yang salah ketika pemerintah daerah memberikan prioritas kepada petani untuk menanam padi.
Namun kata dia, daerahnya juga kaya akan sumber pangan lokal seperti ubi ungu, sukun, sagu mocaf (tepung aci singkong) dan talas beneng. Sehingga potensi ini layak dikembangkan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis kemandirian pangan lokal.
Dia berharap prospek pangan lokal yang potensial ini bisa lebih dikembangkan dengan cara memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) lokal untuk pengembangan usaha.
Caranya dengan memberikan pelatihan tentang manajemen usaha, strategi pemasaran, dan berinovasi dalam membuat berbagai variasi produk olahan.
Pada akhirnya diskusi menjadi ironi ketika nara sumber menjelaskan bahwa sebagian besar produksi padi yang dihasilkan 80 persen dijual dalam bentuk gabah yang tidak memiliki nilai tambah bagi petani setempat.
Pada bagian lain, sampai saat ini produk olahan berbahan baku pangan lokal masih belum dapat bersaing dengan olahan pangan berbasis terigu baik dari segi kualitas maupun harganya.