Saat sedang buang air besar dalam situasi terkena diare itu lebih melelahkan dibandingkan harus terjebak dalam kemacetan ekstrim di Tanah Abang. Celakanya bagaimana kalo kita sedang menahan rasa ingin buang air besar yang disebabkan diare ditengah-tengah kemacetan ekstrim di Tanah Abang? Semunya jadi serba salah dan sudah pasti melelahkan sangat.
Entah kenapa perasaan itu saya rasakan manakala saya sering melihat postingan-postingan lucu di berbagai media belakangan ini. Iya, yang saya maksud ketika manusia biasa seperti saya harus menghadapi tekanan ekstrim orang-orang dari dimens(i) lain pada momen pemilihan presiden ini. Di berbagai media bermunculan orang-orang yang tiba-tiba menjadi jago dalam berpendapat, beropini, menilai, mengkritik, menghujat, memfitnah bahkan mengolok-olok. Dari Sabang sampai Merauke sebagian besar orang-orang berasa lebih hebat dalam mengeluarkan syahwat-syahwat tersebut. Gilanya, jargon-jargon kebaikan jagoan politik pilihannya langsung saja menguap tertutup dengan balutan opini negatif terhadap lawan jagoannya dan sikap egosentris dukungan terhadap calonnya. Padahal yang mencela belum tentu punya kontribusi terhadap kemajuan bangsa ini. Macam orang suci sajalah ceritanya.
Sikap pesimis dari sebuah bangsa yang keseringan terpuruk dan dimanfaatkan psikologisnya sehingga memicu terjadi perang. Perang yang saya maksud bukanlah perang dengan Tank Leopard atau dengan system pertahanan Hybrid. Perang yang saya maksud adalah perang terhadap antara hati nurani dan e(k)splorasi akal sehat dengan egoisisme berlebih macam chauvinis atau bahkan fasis. Padahal menurut saya, ini adalah pemilu paling top markotop kandidiatnya. Dua putra terbaik bangsa yang menjadi figur terbarukan lho yang mencalonkan! Bedakan dengan pemilu 2009 yang terkesan seperti makan nasi tanpa garam dan lauk pauk. Hambar dan tidak berkesan.
Namun rupanya kebanyakan dari kita tidak memahami apa makna pemilu ini. Kebanyakan beranggapan bahwa mereka seperti laiknya pendukung (f)anatik tim sepak bola. Perang ini tidak jauh berebeda laiknya perang antara bobotoh Viking dengan The Jakmania. Sikap seperti katak dalam tempurung dan tidak memahami substansi membuat yang kerap mereka lakukan hanya didasarkan atas program silogisme POKOKNYA.
Sungguh adalah tepat negeri ini menjadi NEGERI BAHAN POKOK. Segala acuan yang menjadi pilihan kebanyakan orang adalah bersifat absolut. Tidak bisa dibantah dan yang tidak sejalan adalah tidak bisa jadi benar. Sekalipun yang lain benar, maka harus dibela, diamini, diakui namun bukan karena kebenarannya, lantaran hanya karena POKOKNYA harus dibela-belain, dibenar-benarin, dan diaku-akuin. Kenapa begitu, sebab secara POKOKNYA hal tersebut bisa mendaapt feedback yang POKOKNYA menguntungkan. Lalu di mana dasar-dasarnya kebanyakan orang memilih seseorang menjadi pemimpin? Ya POKOKNYA ada di mana-mana tapi seperti tidak dihati dan temtumya juga bisa menganulir akal sehat. Mules kan dengernya?
Pendukung Prabowo dengan serta merta menjadikan Prabowo sebagai dewa perubahan yang turun dari langit. Prabowo memang hebat kok. Yang aneh kalo kehebatannya ini pun hilang sirna karena yang dilakukan oleh pendukungnya adalah upaya untuk mengkerdilkan lawannya yaitu Jokowi. Kebanyakan orang-orang ini hanya bikin ngeres opini dengan segala alasannya yang berujung pada POKOKNYA. Jokowi antek Yahudi, Jokowi Cina, Jokowi anti Islam, Jokowi jelek, Jokowi pembohong. Tapi saat kita bertanya bukti dan alasan maka jawabannya akan ngawang-ngawang dan bersumber dari predikat akan hal-hal yang subjekt(i)f. Saat kebaikan apapun yang dilakukan Jokowi akhirnya jadi salah, dan bila benar maka kembali kepada pernyataan bahwa Jokowi selalu salah. Bila benar, dianggapnya pencitraan, dianggapnya munafik, dianggapnya tidak tulus, dianggapnya settingan. POKOKNYA Jokowi Jelek, dan Prabowo Hebat!. Luar biasanya, fatwa haram pun dikeluarkan untuk menghalangi seseorang menjadi pemilih Jokowi. Lalu saya membayangkan bagaimana bila saya memilih Jokowi? Saya mengibaratkan saat memilih Jokowi itu sama juga dengan saya memperkosa ibu saya sambil minum vodka setelah itu saya bunuh ibu saya dan kemudian saya masak dagingnya menggunakan bumbu dapur dengan komposisi minyak babi yang dimana saya beli bumbu tersebut dari hasil curian kotak amal masjid di sebuah desa tertinggal. Ini apa-apaan sih? Pemilihan p(r)esiden atau ajang seleksi masuk surga? Apa korelasinya memilih presiden yang sejauh ini masih sama Rukun Islam dan Rukun Imannya dengan makan babi yang haram karena telah dibuktikan dalam kajian ilmiah dengan dasar referensi AL-Quran? Belum lagi sikap pendukungnya yang bisa menyuruh salah satu pendukung Jokowi untuk melepas jilbabnya karena mendukung capres yang tidak sama dengan pilihannya. “Emang siapa kalian orang bisa menilai tingkat keimanan seseorang hanya karena orang tersebut milih Jokowi?” Repot memang bila agama dituhankan dan menjadi komoditas politik.
Disisi lain, pendukung Jokowi juga tidak kalah hebat dan superiornya dengan segala aksinya. Pokoknya Jokowi selalu benar dan Prabowo adalah pelanggar HAM, tukang culik, didukung oleh partai-partai yang korup dan tidak berpihak kepada rakyat. Saat pendukung Prabowo bercerita tentang kelebihan calonnya, langsung saja pendukung karbitan Jokowi ujug-ujug kom(e)ntar membabi buta membantai Prabowo dari segala penjuru mata angin lalu mengelu-elukan Jokowi tanpa cacat. Prabowo punya program yang produktif dianggap sebuah settingan untuk mengambil hati rakyat saja dan akhirnya dikatakan cuma janji-janji. POKOKNYA Cuma Jokowi yang sudah terbukti bagus dalam memimpin. Parahnya lagi, mereka bisa mengklaim kebodohan seseorang hanya karena tidak memilih Jokowi sebagai presiden. Sayapun geram membayangkan apabila saya memilih Prabowo berarti saya berada pada tingkat intelektualitas di bawah rata-rata. Ini berarti bilamana seseorang mau memilih Jokowi juga berarti harus berada pada tingkat intelektualitas setingkat ilmuwan agar bisa menerima bahwa Jokowi adalah dewa yang menawarkan perubahan terhadap bangsa ini. Lalu dimana peran hati dan akal sehat kita dalam menimbang siapa-siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin kita kelak?
Ini jadi recet dan ngejelimet kayak bulu ketek yang tidak beraturan. Sebab generasi kita dipenuhi dengan materialisme ‘dahsyat’ dan ‘dunia lain’ pada tingkatan bawah, generasi ‘magnum’ dan ‘McDonaldlisasi’ ditingkat menengah atau ‘Hermes KW’ ditingkat atas. Sehingga banyak menciptakan manusia-manusia karbitan yang menjelma dan eksis dengan segala jargon kebenaran yang diambil dari kitab-kitab suci keyakinannya masing-masing namun buta tafsir untuk memahaminya dengan hati dan akal sehat lalu terpuruk menghilang dari nilai-nilai keikhlasan.
Ada yang positif dan kreatif memaknai momen pemilihan presiden ini, namun pun terpaksa hilang tenggelam karena kalah seksi dengan isu-isu anti produktif yang sentimen dan ten(d)ensius terhadap lawan politiknya. Sekalipun kita memiliki dua kandidat terbaik ternyata masih ada saja celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak lain untuk menghancurkan kebersamaan kita. Sudahlah sama-sama dua tokoh terbaik bangsa saat ini, kenapa kita tidak menyibukkan diri kita untuk mendukung dan menjunjung sebaik mungkin calon pemimpin kita bersama-sama dan menang bersama-sama. Seperti pernyataan-pernyataan santun yang saya kutip dari pendukung Prabowo ----“Sukses selalu untuk teman-teman para pendukung Jokowi, semoga calon kalian dapat memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara ini. Mohon maaf apabila saya tidak memilih beliau kali ini. Tidak perlu khawatir dengan suara-suara sumbang dari para pendukung Prabowo yang kejam dan tidak produktif dalam mengkritik. Karena itu hanya segelintir orang-orang yang tidak tahu apa yang mereka katakan. Kemenangan kalian adalah kemenangan kami juga sebagai bangsa Indonesia. Kita akan selalu bersama mengukir sejarah untuk menuju Indonesia yang lebih baik, yang lebih makmur dan sejahtera. Indonesia Hebat.”-------- atau dari pendukung Jokowi ”Saya ucapkan salam dan sukses bagi kalian wahai Prabowo Lovers. Semoga beliau dapat membangkitkan kita dari tidur panjang dan kelak menjadi bangsa yang hebat. Namun lain dari itu, saya memohon pengertian saudara-saudara sekalian bahwa saya tidak bisa satu gerbong untuk mendukung Prabowo menjadi Presiden. Teruslah berekspresi dengan sebaik-baiknya apa yang menurut kalian pantas untuk ditonjolkan. Tidak perlu malu atau ragu ataupun khawatir dianggap sebagai pemuja pemimpin yang ambisius. Karena memang seyogyanya pemimpin harus memiliki ambisi, ambisius sebagai motivasi yang mampu mengangkat harga diri bangsa kita. Semoga kita bisa harmonis berdampingan. “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Kita” Hiduplah Indonesia Raya!”-----1)
Kita seperti terlena untuk memenangkan kompetisi ini dan memastikan pilihan kita jadi pemenangnya. Lalu dimana slogantepo seliro dan toleransi kita? Kita sibuk menghujat, memfitnah, mengkerdilkan, haram mengharamkan yang edannya itu ditujukan bagi saudaranya sendiri sebangsa dan setanah (a)ir. Rupanya syahwat-syahwat anti produktif tersebut sudah menjadi kebutuhan BAHAN POKOK yang berada tepat di lubang pantat kita dan akhirnya berceceran di celana dalam kita lalu ditertawakan oleh orang lain bila kita secara tiba-tiba terkena diare saat sedang terjebak kemacetan di Tanah Abang.
Ini settingan untuk menghancurkan kesatuan kalian bung, kelak ada yang bertepuk tangan atas siapapun pemenangnya dan kemudian mereka akan kembali bangkit dan menari lalu membuat kita tenggelam menuju dasar bumi yang paling dalam tempat bersemayamnya Dajjal Laknatullah!!! Sadarkanlah hati dan eksplorasi akal sehat kalian! Saya doakan kalian lelah sebelum perang ini berakhir, dan kalian rindu akan kedamaian hakiki dan kembali bercanda bersama teman yang kalian tinggalkan dan memeluk saudara yang kalian hina. (ar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H