Rupanya sudah menjadi budaya bangsa bilamana kita sering mengelompokan diri hanya sebatas pada 'gravitasi diri'. Dialektika praktispun akhirnya kedapatan jadi objek yang sesuai untuk mengekspresikan gravitasi tersebut. Maksudnya kadang baik, namun kerap kali fatal karena dapat menciptakan conflict of interest yang sama sekali tidak ada penting. Bisa jadi kita perang saudara hanya karena anekdot sticker mobil yang cukup fenomenal macam Real Men Use Three Pedals Vs Rich Men Use Two Pedals.
Fenomena salah menyalahkan dan benar membenarkan adalah hanya sebagian kecil dari latar belakang keanehan yang kita miliki akibat dari gravitasi diri tersebut. Mereka manusia-manusia kerap kali keras menyuarakan ekspresi bathinnya namu terkadang bisa saja kalap melupakan perasaan orang lain.
Momentum pilpres 2014 ini adalah bahan pembelajaran yang sepertinya menjadi endemik hal yang saya maksudkan. Saat semua orang mendadak menjadi rajin mengekspresikan kreasi dari ekspresi lantunan politiknya. Orang-orang menjadi rajin menghujat, mencela, denial, membanding-bandingkan, sarkas, beringas, bigos, tukang fitnah. Semuanya seperti keluar dari bisul yang selama ini mengendap dan lalu kemudian keluarlah karakter masing-masing manusianya. Edannya hal ini dikatakan sebagai pembelajaran politik. Perihal cerdas atau tidak urusan nanti. Perihal berdampak baik atau buruk ya urusan nanti juga. Ya, saya menyebut mereka ini dengan julukan Momental Poltician. Karena memang mereka cuma musiman saja melakukan hal-hal seperti ini. Sama saja seperti tukang gorengan dan tukang lontong yang berjejer berdagang kala menjelang buka puasa.
Ya, mereka hanya ribut-ribut dan kasak-kusuk saat momen politik yang harus mereka ekspresikan, ada dan patut diperjuangkan. Masalah mengenali platform tetap nomor kesekian. Kebanyakan dari mereka ribet dan kusut saat saya tanyakan kenapa baru sekarang kalian ribut-ribut teriak sana sini tentang politik.
Bukan tanpa sebab, mereka yang selalu membawa jargon nasionalis dan patriot selalu kelagapan saat datang pertanyaan bodoh saya yang menanyakan kemana mereka saat TKI mau dipancung, atau dimana saat budaya bangsa diklaim? Mereka menjawab, ada dan kami hadir memberikan protes.
"Nenek-nenek merem mau nyeberang juga bisa protes bung!!" Pertanyaan saya dimana kalian berada saat angklung hanya teronggok di aula sekolah, atau barong yang tergantikan oleh break dance atau 'saweran'? Apa kalian sesibuk ini siang malam menyerang dan mengcounter pihak yang mengklaim?
Atau bagaimana anda menyikapi lalu-lintas saat pukul 02.00 WIB dini hari? Saya masih ingat istilah 'lampu taman' saat sebagian besar kebiasaan masyarakat kita melanggar lampu lalu lintas karena dalih jalanan kosong. Atau bagaimana anda bicara kepada pedestrian di tengah trotoar sambil anda menunggang sepeda motor anda? Saya korelasikan hal ini sebagai bentuk aplikasi patriotisme ya! Dan mereka pun akhirnya bungkam, namun entah kenapa sesaat kemudian berisik lagi dan tetap tidak tahu dan menaydari bahwa wajahnya sudah menjadi tembok.
Ya, saya punya pendapat bahwa perilaku korup sudah ada dari hal yang paling kecil sekalipun. Bahkan dengan menganalogikan dengan maket berlalu-lintas di jalan. Dalih supaya bisa cepat sampai rumah dan bermain dengan anak, maka sah dan halal hukumnya mengambil jalan pintas tersebut. Sama saja toh dengan perilaku koruptor yang menjejali kekayaan hasil korupsinya untuk kebahagian keluarga. Aneh kan kalian? Bisa-bisanya teriak-teriak patriotisme dan nasionalis. Saat anda berperilaku laiknya tikus-tikus. Bedanya anda-anda tetap saja sial jadi miskin. Miskin harta miskin hati.
Berlebihankah ketika kita berpeluh meminta kalian yang memekik agama sebagai landasan berperang dengan rival kalian untuk lebih banyak diam dibandingkan berpendapat? Padahal kalian tidak hingar bingar saat seluruh rukun Islam dinodai. Apakah kalian sesibuk membela kepentingan atau memberla jagoan kandidat presiden kalian saat Qur'an dan Haji dikorupsi baik pengadaan maupun penanganannya? Atau kah kalian jadi repot saat Masjid sebagai sarana salah satu pemenuhan rukun Islam di hancurkan? Ataukah kalian bisa sedikit saja menghormati salah satu rukun islam yaitu Puasa saat bulan suci Ramadhan dengan tidak melakukan Fitnah, gibah, dan nah dan bah bah lainnya? Sepertinya kalian buta dengan kesaksian tentang Allah sebagai Tuhanmu dan Muhammad sebagai Rasulmu saat kalian repot menerjemahkan mereka dalam dialektika duniawi yang picik dan picisan! Maka lengkap sudah rukun Islam pun kalian injak-injak dengan beringas.
Bahkan sampai akhirnya pemilihan sudah dilewati, masih saja ada oknum-oknum manusia yang masih kerepotan mencari-cari celah mengagungkan gravitasi dirinya. Membuka isu baru berupa berita panas yang berbicara tentang hasil hitung cepat. Poros sana mengklaim menang, poros sini mengklaim menang. Penuh kebencian sekali. Tidak jujur pada hatinya sendiri, sungguh orang-orang yang rugi. Wajahnya penuh dengan ketidak jujuran, pasi tidak berhasrat untuk menatap dan kosong. Babak berikutnya, adalah masuknya Gazza kedalam keributan dan politisasi makna. Bersiap untuk mengumpulkan tenaga kalian berceloteh secara horizontal dengan kawan-kawan kalian seperjuangan pada saat kemarin, hari ini, dan esok hari. Kali ini kalian akan sibuk jadi komoditas politik lain, komoditas konflik dari konflik lain.
Ya, saya maklumi kalian. Sama seperti saya memaklumi kalian yang repot membicarakan pedal mobil kalian dan menjadikan susunan pedal kalian adalah yang paling bagus. Padahal substansinya adalah apa-apa tujuan anda menginjak pedal kalian. Kalian terlalu berat dengan gravitasi diri kalian masing-masing. Kalian Egois! Patutnya kalian merampungkan dulu ikrar kalian pada Tuhan saat masih sekira 112 hari keberadaan kalian didalam rahim. Bersihkan saja diri kalian masing-masing terlebih dulu. Jangan sok suci urus ibadah orang lain saat kalian masih maklum melewatkan ibadahmu. Jangan sok nasionalis dan paling patriot saat kalian masih berkompromi untuk membohongi diri kalian setiap hari. Perbaiki saja hatimu lebih dulu, lalu keluargamu dan anak-anakmu. Bangsamu kelak juga akan meyakinimu untuk membawa perubahan baik melalui arahanmu. Dan akhirnya Dunia menunggu untuk kau tuntun dengan segala macam kebijakanmu.