Suatu hari saya mendapat WA dari teman yang mendapat ramedial matakuliah keuangan. Kedatangannya dari jauh menunjukan keseriusannya belajar bahkan dia menginap beberapa hari di rumah saya. Remedialnya sendiri dilakukan secara online karena memang perkuliah sekarang berbasis daring termasuk magister.
Singkat cerita sampailah pada hari H remedial. Teman saya begitu serius bercampur gelisah dan panik mengerjakan soal remedial. Maklum saja jiga ini gagal dia harus mengulang matakuliah ini tahun depan dan impiannya untuk lulus magister tepat waktu mungkin terhambat. Tapi akhirnya semua soal berhasil dijawab dengan benar.
Beberapa jam setelah itu teman saya memberi tahu bahwa nilainya C, dia sangat bangga dengan itu karena artinya dia lulus. Tapi tidak dengan saya karena justru di sinilah awal permasalahannya.
Pertama-tama mari kita mulai dari hal yang paling mendasar yaitu definisi belajar. Wikipedia dan KBBI bertemu pada kata sepakat pada kata perubahan sebagai arti dari belajar. Seseorang yang berubah berarti dia telah melakukan dengan benar proses belajarnya.
Lalu coba bandingkan dengan kasus yang terjadi pada teman saya. Dia sudah bisa merubah hasil ujian dari yang awalnya D menjadi benar semua. Bukankah itu yang namanya belajar (perubahan).
Obrolan halusinasi teman saya dengan dosennya
Teman : "Pak ko nilai saya C? Apa ada yang salah dengan jawaban saya?
Dosen : "Jawaban kamu benar semua ko tapi ini kan perbaikan mana mungkin saya memberi nilai besar, bagaimana dengan teman sekelasmu yang dari awal sudah dapat nilai A?"
Teman : "Loh apa masalahnya? Bapak tinggal kasih saya nilai A toh standar kompetensinya yang bapak buat sendiri sudah tercapai."
Dosen : "Gak bisa dong, saya jadi tidak menghargai mahasiswa yang tepat waktu memahami materi sedangkan temanmu perlu extra time (remedial) untuk memahami hal tersebut"
Teman : "Gak bisa juga dong Pak mengeneralisir kemampuan seseorang. Tuhan aja ngasih kemampuan berbeda-beda. Bapak pernah dengar pepatah tidak ada kata terlambat untuk belajar kan?"
Dosen : "Hidup kan berpacu dengan waktu siapa yang tepat waktu dia pemenang."
Teman : "Ok pak kalau ngomongin waktu saya udah meluangkan waktu lebih untuk belajar, belum lagi tenaga pikiran bahkan materi, gimana?"
Dosen : ".........."
Teman : ".........."
Dosen : ".........."
Teman : ".........."
Perdebatan ini tidak akan ada akhirnya masing-masing benar tapi dari sudut pandang masing-masing.
Saya berfikir bahwa ada yang salah dari sistem pendidik kita. Kita terlalu berorientasi pada nilai yang selanjutnya dibabankan di pundak besar para siswa. Kita tidak berorientasi pada perubahan yang menjadi definisi belajar.
Orientasi ini sudah mengakar dan membudaya di negeri ini. Imbasnya ke berbagai sektor mulai dari kepintaran diukur dari komulatif padahal dunia kerja relatif lebih terfokus pada satu bidang (repetitif), siswa cenderung menghalalkan segala cara demi nilai, omong kosong multitasking, waktu menempuh pendidikan formal yang lebih lama dan masih banyak lagi.
Mari sama-sama merenungkan kembali apa yang salah dari pendidikan di negeri ini. Saya tutup tulisan saya dengan quote dari Einstein dan Ustadz Budi Ashari.
"Setiap orang itu Jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan percaya seumur hidupnya bahwa ia itu bodoh." Einstein