Sejak 4 Juni lalu, pemerintah sudah merencanakan untuk merevisi UU atau undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tersebut, pemerintah berencana untuk menaikkan tarif Pajak Peratambahan Nilai atau disingkat PPN sebanyak 2% dari yang semula hanya 10% menjadi 12%. Tidak hanya PPN, pajak lain yang juga direvisi oleh pemerintah diantaranya yakni PPh atau Pajak Penghasilan serta PPnBM atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Perubahan atau revisi undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah ini bertujuan untuk melakukan optimalisasi penerimaan negara dari PPh dan PPN. Selain Indonesia, optimalisasi pajak juga tengah dilakukan oleh berbagai negara di dunia sebab PPh dianggap cenderung terus mengalami penurunan. Karena sifat uang yang elusif, negara menjadi semakin susah melakukan kontrol pajak terhadap penghasilan warganya. Hal ini disebut sebagai salah satu efek dari berkembangnya ekonomi digital di setiap negara, khususnya negara yang merupakan anggota dari OECD antara 2007 hingga 2017 (Masitoh, 2021).
Meski pemerintah mengatakan bahwa kenaikan tersebut masih merupakan rencana yang akan dijalankan begitu perekonomian menjadi lebih stabil, akan tetapi isu ini telah menjadi sorotan dari berbagai pihak. Banyak pihak yang berada si sisi pro maupun kontra dari kenaikan pajak ini. Meskipun begitu, dalam berbagai unggahan yang viral di media sosial, lebih banyak orang yang berada di kubu kontra terhadap keputusan yang telah tercantum dalam draf RUU tersebut. Alasannya yakni pemerintah tidak hanya akan membebankan pertambahan pajak PPh dan PPN, melainkan juga menarik pajak untuk kebutuhan sembako dan jasa sekolah.
Sembako merupakan singkatan dari Sembilan bahan pokok. Sembilan bahan pokok yang dimaksud yakni garam beryodium, minyak tanah, jagung, susu, telur ayam, daging ayam dan sapi, mentega, dan minyak goreng, gula pasir, serta beras. Berdasarkan keputusan pemerintah, bahan-bahan pokok premium yang akan dikenakan pajak diantaranya adalah gula, bumbu-bumbuan, ubi-ubian, sayur mayur, buah-buahan, susu, telur, daging, garam, kedelai, sagu, jagung, serta beras (Pratama, 2021). Dengan kata lain, hampir semua kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat pada umumnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari terkena imbas kenaikan PPN.
Padahal, kata sembako sudah mengandung kata 'pokok' yang berarti kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh manusia agar dapat bertahan hidup. Kebutuhan ini dibeli setiap hari oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Untuk kalangan yang tergolong berpenghasilan menengah ke atas, pertambahan PPN pada sembako tidak akan memiliki dampak yang cukup signifikan. Namun, untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, hal ini dapat menjadi beban tersendiri. Meskipun Sri Mulyani, Menteri Keungan, menyatakan bahwa hanya produk sembako premium yang dikonsumsi kalangan menengah ke atas saja yang dikenakan PPN, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menengah ke bawah semakin sulit mengakses sembako premium.
Walaupun memiliki harga yang lebih mahal dari sembako biasa, sembako premium juga memiliki kualitas yang lebih baik. Ini merupakan salah satu ironi dari kemiskinan. Orang yang tidak mampu atau tergolong dalam golongan miskin hanya dapat mengonsumsi makanan dengan kualitas biasa atau malah kualitas rendah. Dengan adanya kenaikan PPN untuk barang sembako premium, hal ini semakin menjauhkan sembako berkualitas dari jangkauan orang-orang miskin. Pada akhirnya, hanya orang-orang tertentu yang dapat menikmatinya. Dengan demikian, jurang antara si kaya dan si miskin tidak akan mengecil, sebaliknya justru semakin melebar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H