Lihat ke Halaman Asli

Wadu Jara, Kuda Perang yang Mengarca demi Tuannya

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13916848741429215806

Jika ada yang bertanya, batu apa yang paling terkenal di Kecamatan Woha Kabupatrn Bima, NTB? Maka jawabannya adalah ‘Wadu Jara”. Jika di-Indonesiakan per kata, maka akan berarti ‘Batu Kuda’. Batu yang berada di ujung barat kampung Pucuke/Dusun Tani Mulya Desa Naru, Woha-Bima ini memiliki lingkaran sekitar 17 meter dengan panjang sekitar 9 meter. Tepat berada di sisi utara jalan yang menuju ke Desa Waduwani Kecamatan Woha. Berdiri kokoh di kaki Gunung Samili. Dipandang sekilas, secara keseluruhan bongkahan batu ini tidaklah mirip dengan seekor kuda. Tapi mungkin karena dirasuki oleh sebutannya sebagai ‘Wadu Jara’, sehingga Jika kita memandangnya sedikit lebih lama, maka akan mengalirkan imajinasi ke dalam mata kita kepada seekor kuda.  Ia seolah seekor kuda perang jaman dahulu yang menjulurkan lehernya menghadap selatan ke arah Gunung Karaci di Desa Tenga. Imajinasi kita akan semakin mengental dengan adanya batu kecil lain di dekatnya yang menyerupai tonggak. Sehingga Wadu Jara ini Nampak terikat pada sebuah tonggak dengan bertalikan semak yang menjalar di sekitarnya. Ia terlihat siap, kapan saja untuk ditunggangi dan diajak garang di medan laga. Kemungkinan besar, karena bentuknya yang seperti kuda itulah maka ia dikenal dengan nama Wadu Jara. Dan para leluhur  lantas menanam mitos untuknya yang membuat keberadaan Wadu Jara ini semakin romantik tertanam di hati masyarakat Woha. Sebuah mitos yang kemudian didongengkan dari generasi ke generasi. Konon katanya, Wadu Jara ini  adalah seekor kuda yang menjadi tunggangan seorang ‘Pahlawan Lokal’ Pucuke yang bernama La Ngamo (Bahasa Indonesia : Si Garang). Pahlawan ini berasal dari Negeri Arab, yang berperan untuk menghalau bala dan menghadang musuh bagi Kampung Syeikh (untuk diketahui nama purba dari Pucuke, adalah Kampung Syeikh). Sehingga kampung ini terhalang dari bala dan bencana. Menarik, karena ada sebongkah batu lain di kaki Gunung Karaci yang agak mirip dengan Wadu Jara. Ukurannya lebih kecil dari Wadu Jara dan bagian depannya tumpul-datar menyerupai seekor kuda tanpa kepala. Konon ‘Kuda’ tanpa kepala ini adalah tunggangan dari La Garisi. Pahlawan Lokal Kampung Tenga (masih wilayah Kecamatan Woha). Dulu (sampai akhir era 90-an, sebelum hama siput menyerang), Pucuke punya lahan luas (Limbu) sebagai penghasil Karebe (sejenis umbi dari akar tanaman rumput yang bisa dimakan). Dan konon, Limbu penghasil Karebe ini menjadi lahan sengketa antara La Garisi dengan La Ngamo. Untuk mengakhiri silang sengketa ini, akhirnya La Garisi menantang La Ngamo untuk berlaga duel di Bukit Taba’a (sebuah bukit yang terletak antara Gunung Samili dan Gunung Karaci). Dan duel berakhir dengan terdesaknya La Garisi sampai ia melarikan diri dan terkejar sampai di kaki Gunung Karaci. La Ngamo lantas menebas kutung kepala kuda tunggangan La Garisi, yang akhirnya bertekuk lutut menyerah kalah. Dan Limbu pun tetap menjadi hak milik Pucuke. Setelah La Ngamo menutup usia, kudanyapun mengarca menjadi Wadu Jara untuk membuat keperwiraan ‘Tuan’nya selalu dikenang hingga kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline