Lihat ke Halaman Asli

Aku Memakimu, Kambing Hitam Takdirku

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sore ini aku dikuasai oleh kata maki
Ketika berkaca di atas riak-riak kehidupan ini
Aku segelegar berontakan huruf mati,
Ketika terkubur dalam monolog yang sunyi di tepi hari

Di pinggir-pinggir sudut pemikiranku
Aku nampak bergeliat di atas lipatan-lipatan anomie
Di lubuk-lubuk kedalaman pemahamanku
Aku terlihat megap-megap dalam tumpukan mimpi

Resah kini berjerawat di keningku
Duka pun berlumut di mataku
Sedang letih berkarang di gigiku
Karena beratnya angan-angan yang berakar di kepala

Aku bisa melihat di tepi lembayung senja ini
Cita-citaku yang dulunya cemerlang di puncak bukit
Kini, berlari ke arah ketinggian,
Mendaki awan
hingga bergelandang di luar batas gravitasi
Menebar kegelisahan…..

Sungguh, aku mengutuk sejadi-jadinya,
anomie masa depan yang mencekik leher ini
Sehingga untuk bernafaspun, aku seolah harus berebut udara
Aku mencaci sekuat-kuatnya,
mimpi yang membesarkanku
Sehingga jalan kehidupan ini terasa semakin sempit

Pada akhirnya,
Aku memakimu sekencang-kencangnya,
Kambing hitam takdirku
Dan budak Sang Gembala yang lemah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline