Lihat ke Halaman Asli

Aok

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Awan menggantung hitam pekat menghalangi pandanganku sampai ke langit. Tapi aku yakin di baliknya langit masih tetap biru. Sementara angin dingin menelusup diantara sela-sela jaketku yang tebal, mengakibatkan kehangatan tubuhkuku terganggu. Sementara di boncengan Mio-ku istriku terus mengaduh. Perut istriku memang sudah besar, karena usia kehamilannya sudah sampai waktu melahirkan.

“Masih lama, Mas? Aduh, perutku sakit sekali.” Istriku merintih.

“Sebentar lagi, sayang. Tuh, sudah kelihatan kliniknya.” Aku mencoba menghiburnya.

Klinik yang kami tuju adalah klinik bersalin. Aku sendiri baru sekarang akan menginjakkan kaki di klinik bersalin, karena ini adalah persalinan pertama istriku. Sementara pemeriksaan rutin kehamilan biasanya dilakukan di bidan Anune. Tapi bidan Anune sekarang sedang pergi berlibur dengan keluarganya, terpaksa aku membawa istriku ke klinik ini.

Tanpa melirik kanan-kiri, aku langsung membimbing istriku masuk dan mendaftar. Pada saat istriku sudah merebahkan tubuhnya, aku disuruh keluar oleh bidan. Sambil jalan-jalan di halaman klinik, aku membaca plang: KLINIK BERSALIN BIDAN HJ. ROFIAH. Oh, bidan ini namanya Rofiah.

Rofiah....Rofiah.... Rasanya nama itu pernah akrab di telingaku. Aku terus mengingat-ingat. Oh, iya, sekarang aku ingat. Dulu kakakku pernah punya pacar namanya Erof Rofiah. Kebetulan pula pada saat itu Erof sedang sekolah di sekolah kebidanan. Apakah mungkin bidan yang sedang membantu istriku melahirkan itu Erof pacar kakakku dulu?

Meskipun orang desa yang jauh dari kota, kakakku bukan orang yang suka minder. Kakakku selalu jadi penggerak pemuda di desaku. Pada saat itu aku masih kecil. Jarak usia antara aku dan kakakku itu 11 tahun. Maklumkakakku anak pertama sementara aku anak terkecil.

Suatu ketika di desaku kedatangan tiga orang pelajar dari sekolah kebidanan yang akan melaksanakan kerja praktek. Ketiga siswa itu Empo, yang rambutnya dipotong pendek dan agak tomboi; Tuti yang rambutnya ikal sebahu tubuhnya agak montok; dan Erof yang memiliki tubuh ramping agak tinggi serta rambut lurus. Dari ketiganya, yang paling cantik adalah Erof, dan dialah yang dijadikan pacar oleh kakakku.

Nama Erof Rofiah itu sering muncul dalam ingatanku, karena peristiwa yang cukup menggoncangkan dalam kahidupan keluarga kami. Sifat kakakku yang selalu penuh dengan rasa percaya diri dan selalu ingin memperlihatkan kemampuannya kepada orang lain, mengakibatkan ibuku sakit, karena sawah yang dijadikan sebagai sandaran hidupnya harus melayang. Dan peristiwa itu terjadi pada saat kakakku sedang berpacaran dengan Erof!

“Pak, Pak!” Tiba-tiba ada yang mernepuk bahuku, mengagetkan sekali sehingga lamunanku buyar. Ternyata seorang perawat. “Istri Bapak sudah melahirkan. Bayinya laki-laki, Pak,” katanya sambil tersenyum.

“Alhamdulillah,” jawabku sambul langsung lari-lari kecil menghampiri kamar bersalin.

Kulihat istriku yang wajahnya lelah tapi memancarkan kebahagiaan tersenyum kepadaku. Aku menghampirinya dan kucium keningnya. Lalu kuhampiri bidang yang sedang mengurus bayiku.

“Alhamdulillah proses melahirkannya lancar, bayinya juga sehat,” sambil menyerahkan bayiku kepadaku. Lalu kuadzani di kedua telinganya. “Sudah siap namanya, belum?” Bidan bertanya.

“Sudah siap, Bu. Akan saya beri nama NOTO HAGUMBA.”

“Gagah sekali namanya. Artinya apa?” Bidan bertanya kembali.

“Itu singkatan dari kelima nama presiden kita. No dari Sukarno, To dari Suharto, Ha dari Habibi, Gu dari Gus Dur, M dari Megawati, Ba dari Bambang Yudoyono,” jawabku menerangkan dengan bangga. “Siapa tahu anak sayapun sukses seperti mereka.”

Istri dan anakku dirawat di klinik itu selama tiga hari, dan selama tiga hari itu pula aku bolak balik ke klinik. Pada suatu ketika aku mendapat kesempatan untuk mengobrol agak lama dengan bidan.

“Maaf Bu Bidan, rasanya saya sudah akrab dengan nama Ibu. Apakah Ibu pernah datang ke desa Subur Jaya di kabupaten Ladang Tengah?” Tanyaku membuka percakapan.

“Subur Jaya? Oh, di Ladang Tengah?” Lama dia merenung. “Ya, saya pernah kerja praktek di sana pada saat saya masih sekolah.” Dia menerangkan. “Memangnya Bapak berasal dari sana?”

“Ya, saya dari Subur Jaya. Pantesan nama Ibu rasanya pernah akrab di telinga saya.”

“Saya punya kenangan di sana. Tapi itu kenangan masa silam,” dia menerawang.

“Ya, masa sekolah itu masa yang paling indah, ya Bu,” aku memancing.

“Benar. Saya dulu di Subur Jaya pernah menjalin cinta. Cinta monyet atau cinta kilat namanya. Pokoknya indah sekali. Tapi setelah kembali ke sekolah lalu lulus, saya tidak pernah bertemu lagi dengannya. Entah dia sekarang sudah menjadi apa...”

“Dia sudah punya cucu, Bu, dari semua anaknya.” Jawabku sambil melihat rona wajahnya.

“Dia siapa, Pak? Saya kan belum menyebut namanya.” Dia balik memandang wajahku.

“Kang Aok bukan, Bu?” Jawabku tersenyum.

“Kok tahu?” Dia terbengong-bengong heran.

“Saya kan adiknya, yang dulu sering dibawa main ramai-ramai.”

“Oooh, Tuhanku....Jadi ini Ijad yang suka saya tuntun dulu?” Dia kaget, hampir saja memelukku kalau tidak segera menguasai dirinya.

Pertemuan dengan Bu Erof, membuka semakin lebar kenangan pahit keluargaku, terutama ibuku. Tapi aku tidak pernah menyalahkan Erof. Yang salah adalah kakakku, yang terlalu bangga dengan namanya. Kakakku itu selalu menyebut namanya AOK sebagai singkatan dari ANAK ORANG KAYA. Padahal ibu kami itu hanyalah petani miskin yang hanya memiliki tanah 240 tumbak.

Sebagai orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, malahan cenderung mendekati takabur, dia sering bertindak tanpa perhitungan yang matang. Apalagi kalau sedang dikelilingi teman-temannya. Sedikit dipuji, dia langsung memberikan balas jasa kepada si pemuji.

Suatu ketika teman-temannya mengajak berdarmawisata. Langsung saja Kang Aok mebuatrencana, dan tempat yang dituju adalah Waduk Jatiluhur. Maka diumumkanlah kepada masyarakat desa bahwa pemuda akan menyelenggarakan piknik ke Jatiluhur, dan siapapun boleh ikut dengan membayat tiket sekian rupiah. Ternyata gayung bersambut, banyak warga desa yang mendaftarkan diri sebagai peserta piknik. Setelah mencukupi satu bus, maka berangkatlah menuju ke Jatiluhur.

Setelah piknik usai ternyata meninggalkan beberapa masalah. Ongkos bus belum lunas, malahan baru dibayar setengahnya! Kakakku, yang selalu membanggakan diri sebagai ANAK ORANG KAYA, terjebak oleh utang yang jumlahnya pada saat itu tidak sedikit. Dia diancam mau dilaporkan kepada polisi bila dalam waktu tertentu tidak melunasinya!

Pada saat ditanya oleh ibuku tentang ongkos bus yang tidak dibayarkan, kakaku menjawabnya dengan menangis bahwa uang itu habis dipakai foya-foya dengan pacarnya. Dipakai membeli berbagai kebutuhan sang pacar, karena malu bila tidak membelikan apa-apa yang diminati oleh sang pujaan hati. Diapun mengatakan bahwa bila dalam waktu dekat tidak dibayar, pihak bus akan mengadukannya ke polisi.

Ibuku, yang hidupnya tidak ada yang membantu karena ayah sudah meninggal pada saat aku bayi, wajahnya berubah menjadi kuyu dan semakin tua. Beliau tidak mau kalau anaknya harus berurusan dengan hukum, apalagi kalau sampai harus dipenjara. Tapi beliau tidak memiliki harta selain rumah dan 240 tumbak tanah sawah. Akhirnya dengan berat hati beliau menjual 120 tumbak sawahnya, agar anaknya tidak masuk bui!

Setelah lolos dari ancaman yang membahayakan itu, sifat Kang Aok tidak berubah. Dia bikin ulah yang lain, yang juga mendebarkan hati ibu yang semakin sepuh. Bahkan sampai setua sekarangpun, pada saat Kang Aok sudah bercucu dari semua anaknya, kelakuannya tidak pernah berubah.

Suatu ketika, pada saat berkumpul di rumah ibu, Kang Aok seperti biasa selalu mengbesar-besarkan dirinya. Dalam pembicaraan itu saya menyentil tentang sawah yang telah dijual ibu untuk menolongnya dari tuntutan pemilik bus, tapi dia dengan kasar tidak mengakuinya.

“Kamu tahu dari mana? Demi Allah aku tidak pernah merusak harta orang tua. Awas kamu sekali lagi bilang demikian!”

“Kang, meski saya pada saat kejadian masih kecil, saya tahu semuanya; jadi jangan membohongi diri sendiri, karena banyak saksinya yang masih hidup. Apalagi dengan bersumpah demikian,” aku menjawab dengan suara agak keras.

“Memang aku tak pernah merusak harta orang tua.Siapa yang akan kamu jadikan saksi, aku tidak takut!” Jawabannya semakin pongah.

Pembicaraan ini diakhiri dengan sumpah serapah yang tidak pantas, apalagi diucapkan oleh Kang Aok yang pernah menjadi santri di beberapa pesantren. Pada saat itu ibuku menangis.

Dan pada suatu ketika, ibu meneleponku agar aku menjemput beliau, karena sudah rindu kepada cucunya yang masih balita, yaitu anakku. Di jalan beliau berurai air mata, katanya Kang Aok memarahi beliau karena sesuatu dan lain hal. Astagfirullah, aku beristigfar. Bukankah Kang Aok itu tahu bahwa memperlakukan orang tua demikian kasar itu akan mengakibatkan ketidakbaikan bagi dirinya? Apalagi usia ibu sudah menjelang 85 tahun.

Duh....

Bandung, 7 Juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline