Lihat ke Halaman Asli

Menggantungkan Nasib di Tumpukan Sampah

Diperbarui: 6 Juli 2022   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto sampah yang menumpuk di pesisir jalan bantargebang, by : Aden Alghifari)

Oleh : Abdul Thoriqul Aden Alghifari

Bekasi  (01/07/2022) - Tempat pembuangan sampah terpadu di bantargebang menjadi surga bagi mereka yang menggantungkan nasib disini, terhitung oleh data sejak tahun 2019 sampai kini pemulung diperkirakan sudah mencapai 500 lebih untuk mencari barang bekas di lokasi.

Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Bagaimana tidak terjadi, faktanya sampah sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Sampah kini menjadi salah satu polemik permasalahan yang terjadi di Indonesia. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki tabungan berupa sampah dengan jumlah yang tidak sedikit bahkan hingga jutaan ton sampah yang beredar di mana-mana, hingga saat ini sampah di Indonesia semakin banyak dan semakin tinggi pula tingkat data yang diperoleh dari sampah.

Sejatinya sampah yang kita buang tidak pernah terbuang, ia hanya berpindah tempat saja dan menuju ke Tempat Pembuangan Akhir atau yang biasa kita sebut dengan TPA. Negara kita yang besar ini juga merupakan salah satu negara penghasil sampah terbesar di dunia. Jutaan ton sampah kita hasilkan setiap harinya di negara ini.

Seperti di Bantargebang contohnya banyak sekali orang yang mengais sampah disini lalu dijual sedikit demi sedikit mereka mengumpulkan itu dan diberikan kepada pengepul sampah untuk di daur ulang kembali. Bahkan sejak pagi dini hari Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, telah ramai. Sejumlah alat berat sudah terlihat dioperasikan untuk mengatur sampah - sampah yang datang dikirim dari berbagai lokasi.

Aroma yang tak sedap menusuk hidung dari setiap penjuru Bantar Gebang yang merupakan tempat pengolahan sampah terbesar di indonesia tersebut. Setiap harinya mungkin diperkirakan sekitar 7.000 ton sampah dibuang di wilayah tersebut menurut bapak Edi yang memberi komentar tersebut. “Kalo disini hampir setiap hari setiap jam, udah kaya terminal banyak banget yang datang pergi dari sini kaya bawa penumpang pulang kampung cuman bedanya ini Truk sampah“ ungkapnya. Dan setengah dari 100 kepala keluarga sesuai data yang tinggal di wilayah ini berprofesi sebagai Pemulung.

Berbekal sarung plastik yang sudah dimodifikasi untuk dapat menampung sampah yang lebih banyak dan besi lurus yang diberi paku agar dapat mengambil sampah plastik atau botol, para pemulung berjuang di antara tumpukan sampah. Tak lupa perlengkapan lainnya seperti sepatu baju panjang untuk melindungi kaki dan tangan.

Selama 24 jam puluhan hingga ratusan pemulung mengais nafkah dan hidup dari sampah buangan penduduk. kendati tidak diakui oleh pemerintah atau orang orang yang lebih berada, mereka tidak terusik dan tidak peduli dengan omongan negatif orang orang.

Mayoritas pemulung yang mencari barang bekas di Tempat pembuangan sampah terpadu Bantargebang, Bekasi adalah mereka yang sudah berusia senja. Setiap hari, mereka harus mengeruk tumpukan sampah dan mencari barang bekas yang bisa dijual kembali, seperti kardus, besi, dan plastik. “Nyari rejeki demi menyambung hidup kami ya disini dek, biar anak istri bisa makan.“ ujar Pak Edi yang sudah bekerja disini sejak 6 tahun yang lalu sebagai pemulung di tempat pembuangan sampah terpadu Bantargebang. Tak hanya Pak Edi, ribuan warga lainnya sudah puluhan tahun bekerja menjadi pemulung di TPST Bantargebang. Setiap harinya mereka memulung dari pukul 06.00-17.00 WIB, yang bahkan bisa lebih dari jam tersebut. Mereka hanya memperoleh pendapatan dari hasil menjual barang bekas sekitar Rp 10.000 - Rp 30.000 per hari. Terkadang mereka hanya makan makanan sisa yang entah mereka dapatkan darimana, asal masih bisa dimakan tak masalah bagi mereka. “Saat mobil sampah datang, kami siap-siap berebutan nyari sampah yang bisa dijual dek” lanjut Pak Edi. Selain itu dengan penghasilan yang kecil, sulit rasanya bagi mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk membayar biaya pendidikan anak-anaknya. Hal ini membuat banyak anak-anak pemulung yang akhirnya putus sekolah.

Di pesisir tempat pembuangan ini tidak jauh sekitar 200 hingga 300 meter banyak perkampungan penduduk warga yang kebanyakan berprofesi sebagai pemulung. Disanalah pemulung itu bertahan hidup dan mengais nafkah dari sampah buangan penduduk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline