Lihat ke Halaman Asli

Novi Ana Rizqiani

The Little who has The Big Dream

Hargai Kami, Kawan!

Diperbarui: 5 Desember 2020   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pic: Pixabay, Ilustrasi: Pribadi

“Arhhhhhh...bunda kakiku sakit, luka tuh bunda. Sakit....” nana mengerang kesakitan sembari terisak seraya mengiba pada bunda. Tubuh tambunnya seketika terhempas hingga menghantam onggokan mainannya. Tragedi terjadi pasca limpahan air melabas sekutu semut hingga mengusaikan kongsi mereka siang itu. Separuhnya terkapar, tergopoh-gopoh, mantap menantang, serta umpat pada pinggir emperan. Tak ada praduga akan terjadinya hal ini.

****

Binar surya berpendar memenuhi selasar, hawanya perlahan menguap melaminasi kulit ari. Siang mulai beranjak dari senarai tugas hari ini. Nampak berjajar, sekutu semut pada undak-undakan. Aba-aba terarah dari semut paling hulu, dikendalikannya kemudi ke kanan dan ke kiri. Semut paling hilir mengikuti para pendahulunya. Kemarau telah bersilih mengganti penghujan, kala itu mereka tengah mencari pintu-pintu ternyaman. Pada pengembaraannya, salah satu semut berseru “wahhh...ada aroma lezat sepertinya. Yuk kita temukan.”.

Mereka bergegas mencari sumber tersebut. Kemudian komandan menemukannya “Lihat kawan, ada makanan lezat di sana. Mari kita serbu..” kemudi dikendalikan. Ramai-ramai mereka berjalan menuju sumber-sumber. Pada arah selatan dan utara, datang segerombolan lainnya. “Halo kawan. Ayo kita habiskan bersama-sama.” sapa komandan semut kepada semut lainnya. Semut si serangga sosial ini, gemar hidup berkelompok dan saling bekerja sama. Begitu bahagianya sampai-sampai postur makanan tak nampak.

Tak lama kemudian komandan memerintahkan salah satu dari mereka“Tolong juga beritahu lainnya kalau disini sedang ada pasokan.”. Salah satu dari mereka beranjak meninggalkan kongsi. Semakin lama semakin banyak semut-semut yang berdatangan. Meski tak merta habis, namun terlihat pembagian yang teratur pada sisi-sisinya. Makanan itu sangat manis sehingga mereka menyukainya. 

****

Nana kini terjaga dalam lelap siangnya. Tubuhnya agak tambun untuk anak sebayanya. Geliat postur mulai nampak di sela bilik kala mengusai rehat. Sembab mata menyiratkan persinggahannya selama dua jam terakhir. Terseok-seok raganya kala beranjak dari pembaringan. Derap langkah berbisik seraya menyingkap kusen yang menyembunyikannya. Krekkk (suara pintu) “bunda..” sapanya kepada wanita muda sambil berlari kecil. Wanita itu tengah menantinya sembari sibuk menyulam “Anak bunda sudah bangun ya?” diulurkan kedua tangan pertanda menyambut. “Pintar sekali..anak bunda, kalau siang tidur. Duduk sini ya, bunda ambilkan buah kesukaan nana”.

Tak lama kemudian, bunda membawakan pinggan berisikan beberapa buah jeruk nan ranum. Rona kulitnya menandakan buah-buahan masih sangat segar. Tengkulak langganan bunda, baru saja mengambilnya dari petani. Seminggu sekali pasokannya memenuhi lemari pendingin. Bunda menjadi pelanggan setianya. Selain karena buahnya bagus, harganya juga sangat terjangkau bila dibandingkan dengan toko lain. Perwujudannya masih sumringah, menarik diri untuk segera melahapnya. “Sabar ya, bunda kupaskan buat nana. Ini kan kesukaan kamu.” ucap bunda sembari mengupas kulit jeruk. Jika makan buah ini, nana bisa menghabiskan hingga 2 buah. Sehingga pemesanan lebih dahulu sering bunda lakukan untuk mengantisipasi stok persediaan pasokan.

Satu per satu dilahap oleh nana hingga tiada tersisa.“Bunda..aku mau lagi jeruknya.” pintanya sembari merajuk. Bunda kemudian mengupas lagi sebanyak satu buah “Nanti kalau sudah selesai makan, sampahnya dibuang ya.” ucap bunda sambil menunjuk ampas yang ada. Bunda mulai beranjak dari tempat duduknya bersegera menyiapkan hidangan untuk makan malam. Kini telah habis semua jeruk dihadapannya, perut nana nampak semakin menggembung. Seraya memenuhi titah bunda, dibawanya sampah ke emperan halaman belakang. Tercecer segala yang terbawa baik itu kulit pun daging buah yang tidak habis. Nana sepertinya lupa membuang sampah yang benar.

Lamat-lamat senja mengudara, pertanda jejak matahari siang itu telah usai. Selepas memakan buah, lekas nana bergegas ke teras halaman belakang. Semenjak pandemi nana hanya bermain di sekitar rumahnya. Seperangkat mainan hasil kreasinya dibawa olehnya beserta tumpukan lain yang disimpan bunda pada teras itu. Kala bermain, dilirik olehnya semut-semut yang berkerumun. Semut-semut itu menoreh bak lukisan nan elok. Mulai dari yang rapi hingga bercerai berai. Meskipun indah, nana tetap tidak menyukainya. Sebab, pengalaman digigit semut membuatnya geram bilamana tengah bertamu. Nana pergi berlari kecil dan kembali dengan buah tangan berupa sabun cair dan segayung air. 

Sabun cair itu ditumpahkan pada kerumunan semut-semut. Berkali-kali dan berulang-ulang, Nana menaburnya dengan begitu semangat. Air dipercikan sedikit demi sedikit. Bilamana didapati masih ada yang bergerak, disembur olehnya dengan sabun dan dibilas dengan air. Semangatnya itu membuat Nana lupa bahwa dia tengah menginjak undakan tempat semut berada. Tak lama kemudian untuk kesekian kalinya, Nana digigit kembali oleh semut “Arhhhhhh...bunda kakiku sakit, itu luka bunda. Sakit....” nana mengerang kesakitan sembari terisak seraya meraih perhatian bunda. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline