Lihat ke Halaman Asli

Dia Siapa?

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

adelwan.blogspot.com

Buku-buku bertebaran dilantai kosku yang sempit dan penuh sampah bekas makanan. Tidak butuh orang pintar untuk menyatakan kalau aku ini seorang yang jorok. Sebenarnya, aku mempunyai waktu untuk membersihkannya, banyak waktu malah, tapi karena dasarnya aku memang pemalas, pekerjaan membersihkan acapkali tertunda. Juga, dari kecil aku terbiasa dimanjakan oleh kedua orangtuaku. Bahkan ketika aku saat aku sudah smu sekalipun, ibukulah yang repot-repot membersihkan kamarku pada hari minggu setelah sebelumnya mengomel panjang. Sampai sekarang, ibuku masih mengomel padaku agar aku rajin membersihkan kamar. Bedanya, sekarang aku di omeli lewat hape dan kosanku tidak akan bersih kalau bukan aku sendiri yang membersihkannya.

Aku menatap nanar keadaan sekelilingku yang sudah seperti tempat sampah ini. Ya, tidak salah kalau aku berkata kamarku ini sebagai tempat sampah. Kamu bisa bayangkan, sudah 2 kali tikus got besar berwarna hitam dengan bulunya yang penuh lumpur masuk kedalam kamar kosanku dengan enteng. Kecoapun ketika aku terjaga malam harinya untuk mengambil minumpun sering aku lihat bermain-main diantara tumpukan sampah bekas makananku yang menggunung. Aku yakin dia berpikir dia sedang berada disurga saat dia melihat banyaknya remah-remah cemilanku yang tanpa aku sadari sudah berubah warna.

Tidak cukup sampai disitu bahkan binatang yang tidak aku berbahaya seperti kelabang merah pernah masuk ke kamar kosanku tercinta ini. Aku masih ingat bagaimana dia dengan santainya berjalan dengan kakinya yang berjalan seirama kebawah tumpukan buku dan memejamkan matanya disana. Aku kemudian mengeluarkannya dengan bekas bungkus cemilan kacang yang kubeli seminggu lalu. Paling tidak sampahku ada gunanya pada saat seperti ini.

Huft...., aku meregangkan badanku sambil bangkit dari duduk. Setelah aku merasa otot-ototku lebih segar dan nyaman untuk dibawa bergerak, aku bergegas keluar mengejar seseorang yang lewat didepan kamar kosanku.

“pak..., tunggu sebentar...”aku memanggilnya dengan agak sedikit keras.

Bapak tua yang memikul beban berat dipunggungnya berpaling kearahku. Kemudian sambil tersenyum dia berjalan kearahku. Aku renyuh melihat senyumnya, sebuah senyuman yang terlihat penuh harapan. Wajahnya yang keriput dengan gigi yang terlihat kuning dan cuma tinggal beberapa semakin membuat hatiku iba dan kasihan. Ah, sudah lama aku perhatikan ini, aku ini memang orang yang melankolis dan sentimentil.

“beli apa nak....?”tanyanya padaku sambil meletakkan barang dagangannya yang aku pikir beratnya paling tidak sebesar 60 kg. Memikul beban seberat ini dan membawanya berpuluh-puluh kilometer setiap hari. Anda pantas mendapatkan medali bapak tua pekerja keras.

“nak...?” si bapak menyadarkanku dari lamunan, aku sedikit tersentak kaget mendengar suaranya yang terdengar tidak begitu jelas.

“eh ya pak..., sapu ini, saya ambil satu....”kataku sambil mengambil sebuah sapu plastik bergagang warna merah.

“terimakasih nak...”kata sibapak beranjak dariku setelah aku membayar sapu yang dijualnya adegan tawar menawar barang. Kamu pikir aku gila apa masih menawar saat melihat keadaan sibapak yang kayak gitu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline