Lihat ke Halaman Asli

Bekerja Lebih Lama, Belum Tentu Lebih Baik

Diperbarui: 2 Oktober 2015   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejumlah kantor menginstrukskan kepada pegawainya untuk menambah jam kerja, melebihi jam kerja normal. Walaupun sebetulya mereka sudah masuk lebih awal, tetapi para pimpinan sepertinya masih beranggapan bahwa jam kerja tersebut kurang. Diharapkan, dengan menambah jam kerja, target-target akan tercapai.

Apakah betul demikian? Belum tentu.

Lebih 80 tahun lalu, filsuf Inggris, Bertrand Russel dalam essaynya yang berjudul “In Praise of Idleness”, menulis bahwa sebetulnya orang memerlukan hanya 4 jam kerja sehari untuk mengurus segala keperluan. Ia meramalkan bahwa teknologi akan semakin memudahkan manusia dan menjauhkan dari segala kerepotan. Hal senada diungkapkan oleh ekonom ternama John Maynard Keynes lewat essay "Economic possibilities for our grandchildren" (1930), ia menyatakan bahwa orang akan bekerja kurang dari 15 jam per minggu di tahun 2030. 

Apakah ramalan tersebut bakal terbukti? Bisa ya bisa tidak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena gila kerja justru meningkat di beberapa tempat. Bisa karena keinginan pribadi, tetapi tidak jarang pula karena tuntutan peraturan kantor. Gila kerja atau kantor gila?

Menariknya, ternyata persoalan jam kerja ini tidak selalu berkaitan dengan produktifitas atau kinerja yang bagus. Jam kerja lebih lama, tenyata hasilnya tidak selalu lebih banyak. Data dari kelompok negara-negara OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), menunjukkan bahwa sebetulnya banyak negara maju yang terus mengurangi jam kerjanya. Jam kerja mereka kini jauh lebih sedikit dibanding tahun 1990. Mereka menyimpulkan bahwa semakin produktif seseorang - dan tentu saja semakin tinggi gajinya, semakin sedikit waktunya dihabiskan ditempat kerja.

Diantara member OECD, Yunani dan Jerman bisa menjadi kasus menarik. Yunani mencatat rata-rata jam kerja pegawai/karyawan adalah lebih 2000 jam per tahun. Sementara itu pekerja di Jerman hanya menghabiskan sekitar 1400 jam per tahun, tetapi ternyata pekerja Jerman 70% lebih produktif dibanding pekerja di Yunani. Meski sudah bekerja mati-matian, Yunani kini malah tercatat sebagai negara bangkrut yang mengemis bantuan sekitarnya; sementara Jerman menjadi negara makmur dnegan ekonomi terkuat di Eropa.

Dari data jam kerja OECD terlihat bahwa Jerman sekelompok dengan negara-negara makmur seperti Norwegia (1408), Belanda (1421) dan Denmark (1438)..jam kerjanya lebih sedikit. Negara-negara tersebut, selain makmur dan produktif, juga dikenal memiliki masyarakat dan kehidupan yang sangat tenang dan sejahtera.

Rajin belum tentu pangkal kaya...

Tentu saja akan ada perdebatan atau pertentangan. Karena produktifitas tentu berkaitan dengan banyak hal pula. Bisa juga muncul pertanyaan bahwa bisa saja dengan gaji tinggi, niat orang untuk bekerja lebih keras bisa berkurang. Ataukah sebaliknya, gaji tinggi bisa mendorong orang bekerja lebih keras dengan mengorbankan waktu istirahat dan kehidupannya.

Namun di sisi lain terlihat bahwa orang Amerika yang berpenghasilan tinggi, justru bekerja lebih lama. Sebuah tulisan Robert R Francis (2002) berjudul "Why High Earners Work Longer Hours" menyebut bahwa jam kerja orang kaya Amerika meningkat sementara jam kerja dikalangan miskin justru menurun.

Namun sebuah studi yang dirilis oleh Komisi Produktifitas Selandia Baru yang mengukur produktifitas ekonomi dan masing-masing industri di negara itu menyatakan bahwa meskipun seseorang bekerja lebih lama, tidak berarti ia bekerja lebih baik. Selandia Baru rupanya gerah karena produktifitasnya waktu itu tergolong pada 3 terendah di alangan anggota OECD. Studi ini menemukan bahwa jam kerja di negara tetangganya yaitu Australia sedikit tetapi menghasilkan lebih banyak alias rupanya jauh lebih produktif, dan tentu saja membuat Australia lebih efisien dan maju.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline