Lihat ke Halaman Asli

Dicari : Pencinta Alam dalam Arti Sesungguhnya

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir-akhir ini, entah kenapa ajakan untuk hiking (naik gunung) sedang membanjir. Tawaran ke Dieng, Bromo, atau Gunung Gede pun datang silih berganti. Aku sempat heran juga, tampaknya tawaran untuk berwisata ala pencinta alam saat ini lebih tren daripada tawaran untuk berwisata kuliner atau wisata belanja.

Hmm, akhir tahun lalu film “5 cm” sempat happening di bioskop-bioskop tanah air. Film karya anak negeri tersebut diadaptasi dari novel yang juga tidak kalah tenar. Mengisahkan tentang persahabatan sekumpulan anak muda yang berusaha menggapai impian mereka, film tersebut mengambil latar belakang Mahameru di hampir separuh durasi film. Penonton dibuat terkagum-kagum dengan pemandangan alam yang mempesona. Setidaknya membuat beberapa penonton langsung merencanakan perjalanan naik gunung selepas mereka keluar dari bioskop.

Yap, tak ayal film tersebut juga menjadi salah satu pemicu tren berwisata alam. Mendadak banyak muncul “pencinta alam dadakan”. Dahulu ketika kuliah, naik gunung adalah aktivitas yang tidak bisa dilakukan sembarang orang. Daya tahan tubuh dan stamina yang kuat sangat diperlukan ketika akan melakukan pendakian yang tidak bisa dibilang sebentar. Oleh karena itu, tidak banyak orang yang berbondong-bondong untuk meraih titel Mapala alias Mahasiswa Pecinta Alam.

Jauh berbeda dengan sekarang, pendakian bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, dan bahkan dalam kondisi tanpa persiapan sekalipun. Aku masih geleng-geleng saat ada seorang kawan yang memaksa melakukan pendakian ke Gunung Gede akhir pekan ini, padahal sekarang cuaca sedang tidak menentu dan baru pekan lalu dia keluar dari rumah sakit setelah opname beberapa hari akibat diare.

Satu hal lagi yang masih bergejolak dalam hati dan membuatku gusar. Pemberitaan tentang sejumlah lokasi pendakian yang menjadi kotor akibat ulah para pendaki yang tidak bertanggung jawab, membuatku bertanya-tanya, apa iya mereka cocok dibilang pecinta alam? Apakah mereka benar-benar mencintai alam dalam arti sesungguhnya?

Untuk apa repot-repot mendaki kalau kehadiran mereka justru merusak keseimbangan alam? Untuk apa kalian datang kalau hanya membuat lingkungan kami menjadi kotor? Lebih baik kalian duduk manis depan layar bioskop dan menikmati keindahan kami dari kejauhan, jerit para “penghuni” pegunungan.

Mencintai alam bisa direfleksikan dengan berbagai macam cara yang sederhana namun bermakna. Semisal gunakanlah air dengan hemat dan biijak, buanglah sampah pada tempatnya, hemat penggunaan bahan bakar, mencegah pembuangan limbah ke laut, meminimalisasi penggunaan kantung plastik atau bahan-bahan lainnya yang sulit terdegradasi, dan masih banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa kita mencintai alam dan peduli untuk menjaga keseimbangannya. Ya kan?

Silakan kita menikmati keindahan alamnya, tapi jangan lupa untuk menjaganya dan benar-benar mencintainya. Jangan hanya demi tren dan titel “pecinta alam” semata. Salam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline