Lihat ke Halaman Asli

Adella Diva Rahmadian

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Things Left Behind: Hal-hal yang Dapat Dipelajari dari Mereka yang Telah Menjumpai Kematian

Diperbarui: 28 Oktober 2022   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel Things Left Behind. Illustration by: Adella Diva Rahmadian

Menurut sebagian orang, kematian bukanlah sebuah hal yang nyaman untuk diperbincangkan. Kematian selalu membuat sebagian besar dari kita merasa tidak nyaman, karena akan terasa menyakitkan serta menakutkan. Namun, anggapan tersebut nyatanya tidak berlaku untuk Kim Sae Byul. Melalui novelnya yang berjudul Things Left Behind, lelaki itu banyak menjabarkan hal-hal yang dapat kita pelajari dari mereka yang telah tiada dan berjumpa dengan kematian.

Things Left Behind merupakan novel nonfiksi yang berisi berbagai macam essai di dalamnya. Novel tersebut ditulis oleh Kim Sae Byul yang notabennya berprofesi sebagai pengurus barang-barang peninggalan mereka yang telah 'berpulang'. Profesi tersebut terdengar sangat langka dan hanya ada di Korea Selatan. Melalui profesi tersebut, penulis memutuskan untuk membagikan pengalamannya kepada publik, bukan sebagai ajang berbangga diri, penulis mendedikasikan tulisan ini agar pembaca mampu memetik hikmah yang terdapat dalam setiap essai pada novel ini.

Dalam menjalankan profesinya itu, Kim Sae Byul harus terjun langsung ke TKP di mana seseorang menemui ajalnya. Banyak hal yang ia temukan ketika sedang bertugas, termasuk berbagai kisah menyentuh yang melatarbelakangi penyebab kematian mendiang. Kisah haru yang paling sering ditemukan Sae Byul adalah kisah seseorang yang menemui kematian dalam kondisi kesepian. Dalam banyak kasus, penulis menemukan fakta bahwa masih banyak orang yang meninggal dalam kesepian di sekitar kita. Mengingat tingginya sikap individualisme masyarakat Korea, penulis banyak menjumpai mereka yang meninggal seorang diri di dalam apartemennya, remaja yang tergeletak tak bernyawa seorang diri di kamar kosnya, dan pria yang menjumpai ajal dalam kondisi terkurung sebatang kara di rumah sewanya. Kisah-kisah itu terdengar sangat nahas. 

Sangat menyedihkan saat berpikir bahwa di luar sana, ada begitu banyak orang yang meninggal sendirian dan kesepian tanpa seorang pun yang menemani mereka menghabiskan detik-detik terakhirnya di dunia, atau bahkan untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal.

"Makna kematian dalam kesepian tanpa ada yang mendampingi bukanlah soal kematian, tetapi soal hidup. Itu bukan soal seberapa dalam dia mati dalam kesepian. Tetapi, seberapa dalam dia hidup dalam kesepian. Hidup dalam kesepian mengakibatkan kematian dalam kesepian tanpa ada yang mendampingi."

Kesepian adalah hal yang menyebalkan, namun ia dapat terjadi pada siapa saja baik si muda maupun si lanjut usia. Di dunia yang serba canggih ini, komunikasi langsung antar individu tidak lagi diutamakan. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi, yang secara langsung dapat menciptakan jarak antar satu individu dengan individu lainnya. Seorang anak menjadi jarang berkunjung ke rumah orang tuanya, seorang teman menjadi asing karena tak lagi bertegur sapa, dan seorang nenek menjadi terisolasi jauh dari keluarganya karena tak mengerti teknologi untuk saling berkabar, semua itu lantas menjadi penyebab rasa kesepian itu muncul.

Salah satu kisah yang membuat kita terenyuh dalam buku ini yakni kisah seorang pria yang meninggal seorang diri di rumah sewanya. Pria paruh baya yang memiliki keterbatasan untuk bergerak karena kakinya yang cedera. Cedera di kakinya tak kunjung pulih membuat dirinya tak lagi bekerja, sehingga kondisi ekonominya semakin memburuk. Anak dari pria ini berulang kali membujuk ayahnya untuk pindah dan tinggal bersamanya, namun pria itu bersikeras menolak. 

Pria itu berpikir untuk tidak menyulitkan anaknya yang telah berkeluarga, menurut si pria keadaannya akan baik-baik saja karena kecanggihan teknologi dapat membantunya. Alhasil, si anak yang sibuk bekerja hanya mengirimkan uang bulanan untuk ayahnya dan sesekali bertukar kabar melalui ponsel, sebab jarak rumah si anak dengan pria itu terlampau jauh dan memakan waktu 4 jam perjalanan. Kesendirian pria itu lantas menciptakan kesepian bagi jiwanya. 

Kesepian lambat laun memusnahkan semangat hidupnya, kondisi kaki pria itu semakin buruk karena pola makan yang tidak baik dan akibat dari mengkonsumsi minuman keras secara terus-menerus. Ya, sepanjang kesendiriannya pria itu terus memesan minuman keras setiap pagi dan malam. Ketika petugas minimarket mengantar pesanannya, pria itu mengambil barang yang tergeletak di depan pintu dengan cara merangkak, karena kakinya tak lagi berfungsi. Hilangnya semangat hidup dilampiaskannya melalui minuman-minuman tersebut. Menurutnya, hidup tak lagi bermakna. Mungkin bagi almarhum, kematian adalah solusi terbaik untuk mengakhiri semua derita dan rasa kesepiannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline