Lihat ke Halaman Asli

Adeline Theophilia

Mahasiswa Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Pendekatan Biologis Alternatif Solusi Mengatasi Kasus DBD di Kota Bekasi

Diperbarui: 29 Juni 2021   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

            Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan masalah kesehatan masyarakat khususnya di wilayah tropis dan subtropis yang penyebarannya semakin luas dan masih menjadi momok bagi masyarakat. Penyakit tular vektor ini dapat menular dengan cepat akibat adanya keberadaan virus dengue sebagai agen penyakit yang nantinya ditularkan dari orang ke orang lain melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor epidemik yang paling utama. Adapula spesies lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan Aedes niveus juga di dianggap sebagai vektor sekunder. Nyamuk penular Dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Nyamuk Aedes aegypti yang menghisap darah adalah nyamuk betina, sedangkan nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga. Dimana aktivitas nyamuk betina dalam menggigit atau mencari mangsa biasanya pagi hari (pukul 9.00-14.00) sampai petang (16.00-17.00). Aedes aegypti sangat infektif sebagai penular penyakit, setelah menghisap darah nyamuk ini akan hinggap (beristirahat) di dalam atau di luar rumah, tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Dimana ia akan bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air ataupun genangan air.

Insidensi Memumbung Tinggi
            Penularan DBD ini dapat terjadi dengan cepat karena adanya keterkaitan antara bionomik (kebiasaan) Aedes aegypti dengan lingkungan manusia. Hal ini yang juga menimbulkan terjadinya peningkatan kasus DBD pada wilayah endemik dalam kurun waktu yang cukup singkat hingga dapat mengakibatkan kejadian luar biasa (KLB) di sebagian wilayah di dunia. Seperti salah satunya pada Indonesia yang merupakan negara tropis dengan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) terbanyak di Benua Asia. Begitu pun kasus DBD di Provinsi Jawa Barat, khususnya Kota Bekasi yang masih menjadi perhatian bagi pemerintahnya di tengah berperang menangani Covid-19. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa kasus DBD di Kota Bekasi dapat terjadi karena kondisi lingkungan yang sesuai dengan tempat beristirahat dan bertelur nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD. Selain itu juga dipicu oleh adanya peralihan musim dari hujan ke kemarau. Menurut Dinas Kesehatan Kota Bekasi jumlah kasusnya tahun ini menurun sekitar 15,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai sekitar 900-an kasus. Dimana kasusnya jika diakumulasikan sejak Januari hingga April 2021 terdapat sekitar 760 kasus. Meskipun jumlah tersebut masih lebih rendah dibandingkan tahun 2020, namun baik masyarakat maupun pemerintah setempat diminta untuk tetap waspada dengan cara mengantisipasi timbulnya kasus baru.
              Berbagai upaya terus dilakukan untuk menekan kasus DBD namun hasilnya belum cukup efektif untuk menekan angka insidensi, seperti pemberantasan nyamuk Aedes sp. sebagai langkah utamanya. Pemberantasan tersebut dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya baik secara kimia, fisik maupun biologi. Hanya saja, hingga saat ini jauh lebih banyak pemberantasan nyamuk yang dilakukan dengan cara kimia dan fisik. Sedangkan, beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa pemberantasan nyamuk melalui cara kimia, seperti fogging tidak lagi efektif untuk dilakukan karena adanya resistensi pada nyamuk. Selain itu, bahan kimia yang digunakan juga dapat memicu terjadinya pencemaran lingkungan dan berbahaya bagi tubuh karena lama-kelamaan akan terakumulasi dalam tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit bahkan kematian.


Aplikasi Bioteknologi sebagai solusi
              Sehingga, sebagai sebuah solusi lain yang dapat diterapkan di Kota Bekasi dalam pemberantasan nyamuk adalah pendekatan secara biologis seperti penggunaan biolarvasida hingga rekayasa genetika. Biolarvasida merupakan suatu larvasida yang sumber bahannya berasal dari organisme yang mengandung senyawa aktif yang bersifat toksik (beracun) terhadap larva nyamuk. Biolarvasida memiliki sifat yang mudah terdegradasi di alam sehingga tidak seperti bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan dan tentunya biolarvasida juga relatif aman bagi manusia. Penggunaan biolarvasida ini dapat menjadi alternatif dari penggunaan bubuk abate. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai biolarvasida adalah sereh, kulit jeruk, zodia, minyak akar wangi, daun sirih, tembakau, dan lainnya.
              Selanjutnya ada juga pengendalian dengan rekayasa genetika terhadap nyamuk maupun virusnya, sebagai salah satu metode yang paling dikenal sekarang adalah CRISPR-Cas9. CRISPR-Cas9 adalah sebuah future-approaches untuk mengedit suatu gen dengan cara mengenali bagian gen (DNA) tertentu, memotong dengan enzim Cas-9, menyisipkan ataupun mengganti bagian gen dengan gen yang memiliki sifat yang diinginkan. Sehingga, nantinya dapat dihasilkan organisme yang didesain atau dimodifikasi dengan berbagai sifat unggul. Kaitannya dengan pengendalian penyakit DBD, dimana CRISPR Cas-9 dapat diaplikasikan untuk mengubah karakteristik morfologis maupun fisiologis dari vektor nyamuk Aedes sp., misal dengan cara memotong gen yang mengkode mengkode ukuran telur nyamuk. Selanjutnya, akan disisipi gen baru yang dapat mengkode ukuran telur lebih kecil. Sehingga akhirnya akan didapatkan suatu vektor nyamuk Aedes sp. yang memiliki ukuran telur kecil. Dengan ukuran telur yang kecil diharapkan dapat memberikan sifat pada vektor nyamuk tersebut menjadi sulit untuk bertelur dan menginfeksi. Maka otomatis akan berdampak pada penurunan populasi nyamuk Aedes sp. Sehingga, diharapkan pengendalian penyakit DBD dengan CRISPR-Cas-9 ini dapat menjadi sebuah solusi untuk mengatasi kasus DBD di Kota Bekasi. Namun untuk memaksimalkan hal ini diperlukan juga penelitian lebih lanjut seperti monitoring atau evaluasi penerapan secara bioteknologi yang tentunya memerlukan biaya yang juga tidak sedikit.
              Sehingga diharapkan, dengan beberapa keuntungan yang dimiliki oleh aplikasi bioteknologi dibandingkan dengan pendekatan baik secara fisik maupun kimia, dapat menjadikannya sebagai sebuah alternatif lain yang dapat digunakan dalam menekan angka insidensi di Kota Bekasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline