Peristiwa Pembantaian Nanjing (1937) merupakan salah satu peristiwa masuknya tentara Jepang ke Nanjing dan pembunuhan massal terhadap rakyat sipil. Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan yang memakan banyak korban. Pendudukan tentara Jepang di kota Nanjing sangat mencekam karena tentara Jepang yang kejam ada dimana-mana dan siap untuk menghabisi siapapun, termasuk masyarakat biasa. Seperti halnya dalam film The Flowers of War, Zhang Yimou sebagai sutradara film juga berhasil menghadirkan suasana mencekam dan ketakutan perempuan dan anak-anak di tengah perang Perang Cina-Jepang tersebut.
Film The Flowers of War menceritakan tentang seorang pria Amerika yang bernama John Miller yang datang ke Nanjing untuk memakamkan seorang pastor di Katedral Winchester. Di sana ia tidak seorang diri, ada 14 orang siswi biara yang bersembunyi dengan seorang remaja laki-laki yang menjaga mereka bernama George. Seiring berjalannya waktu, datang pula 14 orang perempuan penghibur dari rumah bordil Sungai “Qin Huai” ke gereja itu untuk mencari perlindungan. Mereka bersama-sama mencari cara untuk berlindung dari serangan tentara Jepang.
Tinggal seatap dengan orang yang berbeda karakter dan latar belakang tidak mudah apalagi di situasi perang, seperti yang dialami oleh Shu, seorang siswi biara dan teman-temannya yang merasa terganggu dan tidak menyukai kehadiran para perempuan penghibur yang dianggap “mengotori” gereja yang suci. Pada awal film, tampak siswi biara dan perempuan penghibur tidak akur, mereka terus-menerus menjaga jarak. Namun, kedatangan tentara Jepang yang mendobrak masuk secara tiba-tiba dan menewaskan dua teman Shu akhirnya secara perlahan menghentikan “perang” diantara keduanya. Mereka mulai saling membantu dan melakukan aksi-aksi heroik, seperti mengorbankan diri untuk menyelamatkan yang lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, heroik adalah bersifat pahlawan. Oleh karena itu, aksi heroik adalah suatu tindakan tanpa pamrih yang dilakukan seseorang untuk menolong orang lain. Tindakan ini berlandaskan keberanian dan pengorbanan, serta ketulusan hati. Dalam film peperangan, umumnya banyak ditemukan perjuangan dan pengorbanan pihak-pihak yang kuat demi pihak lain yang lebih lemah. Mayoritas pihak-pihak yang dianggap pahlawan itu merupakan orang yang dianggap terpuji dan bermoral tinggi dalam masyarakat, seperti raja, pangeran, ksatria, dan tidak jarang didominasi oleh tokoh laki-laki. Namun, film ini menyajikan keunikan dimana aksi-aksi heroik dilakukan oleh kaum perempuan, terutama didominasi oleh para perempuan penghibur. Perempuan penghibur sangat lekat dengan stereotip dan stigma negatif, seperti dianggap ‘hina’, ‘kotor’, ‘tidak berpendidikan’, ‘berhati dingin’, ‘tidak bermoral’ dan ‘tidak memiliki empati’, tetapi justru di film ini mereka mematahkan stereotip serta stigma negatif tersebut dan menjadi pahlawan yang berhati mulia.
Aksi heroik perempuan dalam film ini diawali oleh Shu. Siswi biara ini pada awalnya menjauhi kawanan perempuan penghibur karena merasa tidak nyaman dan menganggap mereka bukanlah perempuan baik, tetapi pada menit 43:29, Shu mengalihkan perhatian tentara Jepang dari ruang bawah tanah yang menjadi tempat persembunyian sementara para perempuan penghibur sehingga perempuan penghibur itu aman. Namun, akibatnya tentara Jepang mengejar Shu dan teman-temannya bahkan berniat untuk melampiaskan nafsu mereka pada siswi-siswi itu. Selain rela berkorban, Shu adalah gadis yang sangat setia kawan dan nasionalis. Ia menolak pergi bersama ayahnya yang pengkhianat, padahal ayahnya sudah membelikannya tiket kapal untuk keluar dari Nanjing, tetapi Shu menolaknya karena ia tidak mau pergi tanpa teman-temannya (1:08:04).
Aksi heroik selanjutnya adalah aksi negosiasi Yu Mo untuk meyakinkan John Miller “menyamar” menjadi pendeta dan menjaga mereka semua (1:04:43). Yu Mo ditampilkan sebagai sosok yang paling cerdas diantara temannya, ia bisa berbahasa inggris dan kemampuannya ini membantunya membujuk John untuk membawa mereka keluar dari Nanjing. Yu Mo menggunakan kemampuannya dengan baik untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingannya sendiri. Karena bujukan Yu Mo, John akhirnya bersedia “menyamar” menjadi pendeta dan melindungi mereka semua yang tinggal di gereja itu.
Yu Mo dan teman-temannya juga memiliki rasa empati yang tinggi. Ketika Mayor Li membawa seorang tentara anak-anak bernama Pu Sheng yang sedang sekarat, mereka merawat dan mencoba menghiburnya (35:33), bahkan Dou bersikeras mengambil senar pipanya agar dapat memainkannya untuk Pu Sheng karena sudah menganggapnya seperti adik sendiri dan merasa kasihan padanya (1:17:05). Meskipun karena hal ini Dou berakhir mengenaskan, tetapi niatnya sangat tulus. Ia tidak memedulikan resiko yang harus dihadapinya demi menghibur Pu Sheng menjelang akhir hayatnya.
Saat siswi-siswi biara mencoba mengakhiri nyawa mereka dengan melompat dari loteng gereja karena putus asa dan pesimis harus pergi menghadiri undangan pesta suksesnya pendudukan Nanjing bersama tentara-tentara Jepang, Yu Mo dan teman-temannya berhasil menghentikannya dan mengatakan bahwa mereka bersedia menggantikan para siswi biara (1:42:35).
Awalnya hanya Yu Mo yang bersedia pergi, tetapi demi membalas kebaikan Shu dan teman-temannya yang sebelumnya pernah menyelamatkan mereka (mengalihkan perhatian tentara Jepang), maka para perempuan penghibur itu memutuskan bersama-sama pergi menggantikan siswi-siswi biara (1:46:06). Perempuan-perempuan penghibur ini di cap sebagai orang yang tidak memiliki hati karena pekerjaan mereka, tetapi dengan cap seperti itu nyatanya tidak menghentikan mereka untuk berkorban. Keberanian dan ketulusan hati para perempuan penghibur untuk menggantikan para siswi ini bukanlah sekadar hal biasa. Mereka sudah melakukan suatu pekerjaan mulia yang tidak dapat dilakukan semua orang. Biasanya pengorbanan yang dilakukan seseorang membutuhkan pertimbangan mendalam karena ada risiko yang harus diterima, tetapi perempuan penghibur dalam film ini tidak memedulikan risiko itu.